Pilpres 2024

PDIP Disebut Harus Buktikan 5 Unsur Supaya Menang Gugat KPU RI di PTUN

Dhifla Wiyani, SH, MH, politisi Golkar dan juga pengacara menyebut PDIP cukup berat buktikan 5 unsur yang jadi dasar putusan di PTUN.

Editor: Tri Yulianto
Istimewa
Dhifla Wiyani, SH, MH, politisi Golkar dan juga pengacara menyebut PDIP cukup berat buktikan 5 unsur yang jadi dasar putusan di PTUN. 

TRIBUNLAMPUNG - Dhifla Wiyani, SH, MH, politisi Golkar dan juga pengacara menyebut PDIP cukup berat untuk menang dalam gugatannya terhadap KPU RI di Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) di Jakarta. 

Sebelumnya PDIP menggugat KPU RI ke PTUN atas keputusan penetapan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan capres Prabowo Subianto. 

Menurut Dhifla Wiyani, dari gugatan di PTUN, PDIP harus membuktikan lima unsur yang nantinya jadi dasar putusan bagi hakim. 

Gugatan PDIP ini adalah gugatan mengenai perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

KPU RI dianggap, oleh PDIP, telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan kewenangannya sebagai penyelenggara Pemilu pada tahun 2024.

Karena adanya gugatan dengan nomor perkara 133/G/2024/PTUN.JKT ini maka PDIP meminta kepada KPU untuk menunda proses penetapan presiden terpilih 2024.

Yang dimaksud dengan gugatan perbuatan melawan hukum penguasa (PMHP) ini adalah gugatan perbuatan melawan hukum sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata, dimana pelakunya adalah Badan dan/atau Pejabat Pemerintah.

Terdapat 5 unsur yang harus terpenuhi bersifat kumulatif, sehingga gugatan PMHP tersebut bisa dikabulkan, yaitu:

1. Adanya perbuatan;

2. Perbuatan itu melawan hukum;

3. Adanya kerugian;

4. Adanya kesalahan;

5. Adanya Azas Kausalitas (hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan).

Jika satu saja unsur tidak terpenuhi maka PMHP harus dinyatakan tidak terbukti.

Jadi sangat tidak mudah untuk membuktikan adanya PMHP oleh KPU RI dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan Pemilu 2024.

Khususnya untuk unsur menghitung adanya kerugian yang jelas dan terperinci yang di alami oleh PDIP.

Selain itu gugatan PMHP ini bukanlah gugatan yang bisa menunda pelaksanaan penetapan KPU RI atas Penetapan Presiden Terpilih Tahun 2024.

Hal ini karena seandainya pun KPU RI dinyatakan telah melakukan PMHP, maka PTUN secara hukum tidak berwenang membatalkan atau menyatakan tidak sah Surat Keputusan KPU No.360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

Menurut Pasal 24C UUD 1945, yang berhak membatalkan SK KPU RI tersebut hanyalah Mahkamah Konstitusi.

PDIP Punya Bukti dan Saksi

PDIP telah memiliki bukti dan saksi atas pelanggaran yang dilakukan KPU RI. 

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Hukum PDIP, Prof. Gayus Lumbuun yang menyebut semua bukti dan saksi akan ditunjukkan dalam persidangan. 

"Nanti pada saatnya sejumlah bukti-bukti atau saksi ahli. Sekarang enggak pakai saksi dan ahli. Sejumlah ahli akan dihadirkan begitu pula tergugat. Kami sudah siapkan," ujarnya, Kamis (2/5/2024).

Gayus menuturkan pihaknya mengajukan permohonan ke PTUN karena menganggap KPU sebagai tergugat melakukan perbuatan melawan hukum.

Satu di antaranya, KPU memakai PKPU Nomor 19 Tahun 2023 atau aturan lama ketika menerima putra Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto.

"Sekarang saya ulangi lagi jalur proses sengketa pemilu itu tidak hanya di MK, bahwa putusan MK sudah final dan binding kita hormati, tetapi ada dua lainnya bagaimana proses pemilu ini berlangsung apakah ada kesalahan-kesalahan terjadi," jelas dia.

Sebagai informasi, sidang perdana ini digelar secara tertutup.

Di mana, sidang digelar di Ruang Kartika dengan agenda pemeriksaan kelengkapan administrasi dengan penggugat Tim Hukum PDI Perjuangan (PDIP).

Gayus juga mengungkapkan ekspektasi putusan yang diharapkan dari Tim Hukum PDIP ketika menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Gayus pun berpandangan, berpeluang kemungkinan atau bisa saja pelantikan paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024 ditunda apabila hakim di PTUN mengabulkan permohonan dari Tim Hukum PDIP.

Sebab, kata Gayus, MPR RI bisa memakai putusan PTUN jika menerima gugatan Tim Hukum PDIP untuk tidak melantik Prabowo-Gibran.

"Rakyat yang diwakili di Senayan di legislatif yaitu MPR wadahnya seluruh rakyat mempunyai keabsahan berpendapat itu ada di sana diwakili. Dia akan memikirkan apakah sebuah produk yang diawali dengan melanggar hukum itu bisa dilaksanakan, kami berpendapat, ya, bisa iya, juga bisa tidak, karena mungkin MPR tidak mau melantik, ini yang perlu diquote," kata Gayus.

"Kalau rakyat menghendaki tidak melantik karena memang didapati diawali oleh perbuatan melanggar hukum penguasa, nah, itu sangat bisa mungkin terjadi. Jadi, bisa tidak dilantik," sambung dia.

Sementara itu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta meminta PDI-P memperbaiki gugatan yang dilayangkan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Hal ini merupakan hasil dari sidang pendahuluan pemeriksaan kelengkapan administrasi yang digelar PTUN. Di mana, sidang ini digelar secara tertutup.

Gayus mengatakan, pihaknya siap untuk memperbaiki substansi gugatan yang diminta oleh hakim PTUN.

Di mana, salah satu yang diminta perbaikan yakni menghubungkan antara dalil-dalil dengan gugatan yang diajukan.

"Tanggal 16 Mei kami akan persiapkan apa-apa yang dianggap kurang demi kebaikan, hal-hal yang menyangkut kepada persambungannya antara posita dan petitum," kata Gayus.

Dalam persidangan hari ini, kata Gayus, membahas tentang syarat-syarat keadministrasian pemerintahan.

Menurutnya, hakim PTUN menjelaskan bahwa syarat-syarat keadministrasian pemerintahan ada yang bersifat keniagaan publik dan privat.

"Itu dua adminitrasi negara ini ada dua sebenarnya, cuma di dalam undang-undang administrasi pemerintahan. Ada yang disebut sebagai yang berkaitan dengan kekuasaan dan ada administrasi masyarakat atau privat," terang dia.

Diketahui, Gayus mengungkapkan bahwa pada persidangan pendahuluan pemeriksaan kelengkapan administrasi dengan tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, pihaknya menyampaikan prinsip-prinsip petitum yang ingin dibuktikan.

Di mana, kata Gayus, pihaknya menguraikan terhadap pasal mengenai kepastian hukum yang harus ditegakkan oleh tergugat yaitu KPU RI. Sebab, KPU diduga tidak melaksanakan atau upaya pembiaran.

Maka dari itu, Gayus mengatakan jika hal tersebut ditemukan dalam persidangan pihaknya memohon pihak Capres maupun Cawapres untuk diambil tindakan administrasi.

"Kami mohon untuk tidak dilantik artinya kami mengajukan cawapres tadinya yang disebut sebagai cawapres berdasar temuan persidangan nanti apakah telah melaksanakan tugas negara yamg merupakan KPU itu telah melanggar hukum. Kalau itu terbukti dalam persidangan kami minta untuk tidak dilantik," kata Gayus.

Gayus pun menyadari bahwa PTUN tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan untuk dilantik, dan putusan PTUN tidak mungkin membatalkan keputusan MK.

"Kami sangat sadar tetapi kehidupan dinamika dari hukum ini, kalau terbukti apakah iya ada kesakralakan dari sebuah keputusan yang tidak bisa dibatalkan dan siapa yang berhak membatalkan kalau KPU tidak berhak membatalkan," ucapnya.

"Kami berpandangan rakyat yang berkumpul di MPR diwakili anggota-anggota MPR bisa punya sikap untuk tidak melantik. Itu yang kami ajukan dan selalu kami gaungkan," terang Gayus.

Mantan hakim Mahkamah Agung (MA) ini menegaskan, bahwa pihaknya tidak bertugas atau diberi tugas kuasa untuk mempersolakan menang kalahnya pemilu atau hasil pemilu.

Namun, pihaknya meminta agar PTUN mengadili apakah betul KPU telah melanggar hukum sebagai aparatur negara di bidang Pemilu.

"Nah PTUN akan memutuskan apakah ada pelanggaran hukum oleh KPU terhadap cawapres yang sekarang jadi penetapan oleh KPU dan akan dilantik, jadi permohonan kami tidak dilantik," jelasnya.

Sementara itu Kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Saleh mengatakan, pihaknya belum memahami objek gugatan yang diajukan oleh PDI Perjuangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pasalnya, dalam surat panggilan yang diterima KPU, PTUN hanya mencantumkan Surat Keputusan (SK) KPU Nomor 360 Tahun 2024 yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden pemenang Pemilu 2024 yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Sementara, objek gugatan dipersoalkan PDIP di PTUN justru syarat administrasi pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden.

"Kami sampaikan bahwa kami ini masih belum tahu terkait dengan gugatan. Karena dalam panggilan yang dilayangkan oleh PTUN Jakarta ini terhadap KPU, itu adalah mencantumkan SK 360. Berkaitan dengan penetapan hasil," kata Saleh usai persidangan.

"Nah oleh karena itu, kami confirm tadi, selaku kuasa KPU, mengapa gugatan objeknya yang dilayangkan ini 360? Mengapa, karena 360 sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," sambung dia.

Saleh menambahkan, apabila objek gugatan yang dilayangkan PDIP adalah SK 360/2024, PTUN Jakarta tidak berwenang untuk mengadili karena sengketa hasil pemilu merupakan kewenangan MK.

Namun, Saleh juga menyebutkan bahwa PDIP dalam petitumnya meminta PTUN untuk menyatakan KPU telah melanggar hukum atas proses pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden.

Di mana, pelanggaran hukum tersebut diharapkan menjadi dasar MPR untuk tidak melantik Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden.

"Cuma majelis itu bertanya, kalau yang diminta kaitan dengan pelantikan itu, pertanyaan majelis, kaitan dengan penetapan paslon, kaitan dengan penetapan hasil, apakah itu dijadikan satu atau pisah?" ucap Saleh.

"Sementara di SK kami, baik mulai penetapan calon, baik penetapan nomor urut sampai ke SK hasil, itu digabung menjadi satu," pungkasnya.

(Tribunlampung.co.id/Tribunnews) 

 

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved