Berita Terkini Nasional

Putusan MK Tutup Peluang 'Lawan Kotak Kosong' di Pilkada Jakarta 2024

Keputusan Mahkamah Konstitusi alias MK terbaru membuat isu calon kepala daerah tunggal atau lawan kotak kosong menjadi kecil kemungkinan terjadi.

Tribunnews.com
Keputusan Mahkamah Konstitusi alias MK terbaru membuat isu calon kepala daerah tunggal atau lawan kotak kosong menjadi kecil kemungkinan terjadi. Putusan MK tersebut juga kembali membuka peluang Anies Baswesan dan PDIP di Pilgub Jakarta 2024. 

Tribunlampung.co.id, Jakarta - Keputusan Mahkamah Konstitusi alias MK terbaru membuat isu calon kepala daerah tunggal atau lawan kotak kosong menjadi kecil kemungkinan terjadi.

Sebelumnya, sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada 2024, diwarnai isu calon tunggal alias melawan kotak kosong.

Namun, atas putusan MK terbaru, semua partai bisa mengusung calon kadanya. Artinya, peluang calon tunggal alias lawan kotak kosong menjadi semakin kecil.

Putusan MK tersebut juga kembali membuka peluang Anies Baswesan dan PDIP di Pilgub Jakarta 2024.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Selasa (20/8/2024).

Pencalonan gubernur Jakarta yang sebelumnya sempat menuai polemik karena "borong tiket" oleh Koalisi Indonesia Maju kini dapat berubah.

Eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sebelumnya kehabisan partai politik dengan perolehan suara 20 persen di Pileg DPRD DKI Jakarta otomatis punya harapan.

Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Tak wajib punya kursi

MK juga memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.

Hal tersebut sebagaimana Putusan MK 60/PUU-XXII/2024, yang dimohonkan Partai Buruh dan Partai Gelora.

MK menolak permohonan provisi para pemohon. Namun, Mahkamah mengabulkan bagian pokok permohonan.

"Dalam pokok permohonan: Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Suhartoyo menyatakan, Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

"Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftatkan pasangan calon jika telah memenuhi syarat sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2. 000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen (delapan setengah persen) di provinsi tersebut.

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemih tetap lebih dari 6.000.000(enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut

d. provinsi dengan jumah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedkt 6,5 persen (enam setengah persen) di provins itersebut;

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihn tetap sampai dengan 250.00 (dua ratus ima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 % (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus ima puluh ribu) sampai dengan 500.00 (ima ratus ribu) jiwa, partai politij atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 8,5 % (delapan setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihan tetap lebih dari 500.000 (ima ratus ribu) sampai dengan 1.000.00 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 7,5 % (tujuh setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.0000 (satu juta) jiwa, parai politik atau gabungan partai poitik peseria pemiu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 % (enam selengah persen) di kabupaten/kota tersebut;".

Sebelumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat aturan terkait batasan partai politik tanpa kursi di DPRD dalam pengusungan pasangan calon (paslon) di Pilkada.

Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 40 Ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Pasal tersebut berbunyi, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

Ketua tim hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahuddin, mengaku pihaknya dirugikan secara konstitusional atas keberlakuan pasal a quo.

Lebih lanjut, ia menilai, persyaratan pendaftaran pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol lebih berat daripada persyaratan pendaftaran pasangan calon dari jalur perseorangan.

"Paslon yang diusulkan parpol, berbasis pada perolehan suara sah. Sedangkan, paslon perseorangan berbasis pada dukungan KTP pemilih," ungkapnya.

Dalam petitumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora meminta MK, menyatakan Pasal 40 Ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota Dewan Perwakailan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas".

PDIP Siap Sambut Parpol yang Ingin Keluar dari KIM Plus

PDI Perjuangan (PDIP) mengungkapkan kesiapannya untuk menyambut partai politik (parpol) lain yang ingin berkoalisi dengan PDIP di Pilkada Jakarta.

Termasuk parpol yang kini telah tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus atau Koalisi Jakarta Baru untuk Jakarta Maju yang mengusung Ridwan Kamil dan Suswono di Pilkada Jakarta 2024.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua DPP PDIP, Eriko Sotarduga.

"Kami menyambut baik. Kalau bisa bersama-sama, kenapa tidak?" kata Eriko dilansir Kompas.com, Selasa (20/8/2024).

Terlebih, kini Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk mengubah syarat pencalonan Pilkada.

Parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD pun dapat ikut mengusung calon gubernur dan wakil gubernurnya sendiri, asalkan memenuhi batas perolehan suara yang telah ditetapkan.

Meski demikian, Eriko mengakui adanya perbedaan pandangan politik di Pilkada Jakarta adalah suatu hal yang wajar.

Menurut Eriko, perbedaan politik ini justru baik karena manusia pun diciptakan dengan ragam perbedaan fisik.

"Sebenarnya berbeda itu kan hal yang wajar saja Coba kalau kita berpikir secara logis di sini. Coba kalau kita semua rambutnya hitam semua."

"Kan susah juga kita cari. Yang si rambut hitam itu kan hitam semua, kan begitu kan."

"Ada yang rambutnya hitam, ada yang sedikit putih keabu-abuan seperti saya, ada yang matanya besar, ada yang matanya kecil. Kan berbeda itu baik. Tidak ada yang salah," terang Eriko.

Lebih lanjut, Eriko mengungkap, hingga kini hubungan PDIP dengan parpol lain masih baik-baik saja.

PDIP juga masih melakukan komunikasi dengan parpol yang tergabung dalam KIM Plus, terutama yang berada di DPR.

Bagi PDIP, perbedaan dukungan politik di Pilkada Jakarta tak akan berpengaruh terhadap hubungan baik PDI-P dengan partai politik lain.

"Jujur saja, seperti di DPR ini. Kami nanti akan rapat di DPR kami sangat hangat dengan semua partai yang lain," terang Eriko.

( Tribunlampung.co.id / Tribunnews.com )

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved