Wawancara Eksklusif

Atasi Polemik Harga Gabah di Lampung, Wherli: Perlu Skema Kolaborasi

Ketua Harian Ikaperta Unila Fahuri Wherlian Ali KM menyebut langkah ini sebagai kebijakan yang cerdas dan berpihak kepada petani.

Penulis: Riyo Pratama | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama
BAHAS GABAH - Ketua Harian Ikaperta Unila Fahuri Wherlian Ali KM hadir sebagai narasumber dalam wawancara eksklusif di studio Tribun Lampung, Senin (21/4/2025). 

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp 6.500 per kilogram mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. 

Salah satunya dari Ikatan Alumni Pertanian Universitas Lampung (Ikaperta Unila). 

Ketua Harian Ikaperta Unila Fahuri Wherlian Ali KM menyebut langkah ini sebagai kebijakan yang cerdas dan berpihak kepada petani

Namun, ia juga menyoroti persoalan baru terkait harga jual gabah di Lampung yang belum merata. 

Berdasarkan informasi yang diterima, petani mengeluh karena padi hasil panen mereka hanya dibeli dengan harga Rp 5.200 hingga Rp 6.000 per kilogram. 

Menariknya lagi, ia juga mengajak kaum milenial untuk bertani. 

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai persoalan ini dan solusinya, berikut wawancara eksklusif Tribun Lampung dengan pria yang biasa disapa Wherli ini, Senin (21/4/2025). 

Bagaimana Anda melihat kebijakan HPP Rp 6.500 ini?

Saya menilai ini solusi yang cerdas dan sangat tepat sasaran. Dengan penetapan harga Rp 6.500 per kilogram, petani bisa naik kelas menjadi pengusaha dan lebih sejahtera.

Selain itu, petani juga punya posisi tawar yang jauh lebih baik dan tidak lagi bergantung sepenuhnya pada pupuk subsidi yang jumlahnya terbatas.

Namun, di lapangan, apakah kebijakan ini sudah berjalan mulus?

Nah, ini yang menjadi tantangan serius. Masalahnya bukan pada kebijakan, melainkan implementasinya di tingkat bawah.

Penyerapan gabah oleh pelaku usaha penggilingan padi masih terkendala. Kapasitas dan efisiensi mesin mereka, terutama milik anggota Perpadi, banyak yang sudah tua dan memiliki rendemen rendah.

Selain itu, harga padi naik, namun harga beras tidak ikut naik karena harga eceran tertinggi (HET) masih di angka Rp 12.500 per kilogram. Ini kemungkinan yang menyebabkan harga gabah di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan HPP.

Sementara itu, Bulog baru mampu menampung sekitar 20 persen hasil panen se-Lampung. Pertanyaannya, 80 persen sisanya akan ke mana? Di sinilah terjadi gejolak harga.

Lantas apa solusinya?

Menurut saya, ada tiga hal. Pertama, naikkan harga beras di tingkat konsumen agar sesuai dengan kenaikan harga gabah.

Kedua, pemerintah pusat harus membantu RMU (rice milling unit atau penggilingan padi) dan Perpadi (Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia) dalam pengadaan mesin modern yang besar, meng-upgrade teknologi yang ada supaya rendemennya bisa maksimal. Pemerintah bisa memberikan bantuan modal dengan bunga pinjaman yang sangat rendah.

Ketiga, lakukan kerja sama antara penggilingan kecil (pecah kulit) dengan perusahaan besar seperti Wilmar dan lainnya.

Yang tak kalah penting, petani juga harus menjual padi saat sudah panen. Jangan dijual sebelum masa panen agar harga tidak jatuh. Dengan begitu, petani, Perpadi, dan pengusaha bisa saling berkaitan dan saling menguntungkan.

Seberapa besar dampaknya bagi penggilingan padi skala kecil dengan harga Rp 6.500 ini?

Dampaknya sangat besar. Penggilingan padi skala kecil umumnya hanya bisa menghasilkan rendemen 60-65 persen.

Sementara perusahaan besar dengan mesin modern bisa mencapai 75 persen. Ini menyebabkan penggilingan kecil tidak bisa menyerap gabah dengan harga Rp 6.500 karena risikonya malah rugi.

Bisa Anda berikan contoh penghitungan sederhana proses tanam hingga panen?

Misalnya, 100 kilogram gabah kering digiling oleh RMU kecil dengan rendemen 60 persen, hasilnya hanya 60 kilogram beras.

Dengan harga jual beras medium di pasaran sekitar Rp 12.500 per kilogram, keuntungan mereka sangat tipis, bahkan bisa rugi, apalagi jika memperhitungkan biaya angkut, tenaga kerja, dan penyusutan mesin.

Lalu bagaimana dengan perusahaan besar?

Kalau perusahaan besar seperti Wilmar, mereka punya rendemen tinggi dan bisa menjual beras premium di harga Rp 15.800 per kilogram. Jadi wajar mereka lebih stabil dan nyaman. 

Masalah justru ada pada RMU kecil yang menjerit karena tak sanggup membeli gabah dengan HPP. Sementara petani jangan sampai ikut menjerit.

Apa solusi yang Anda tawarkan untuk mengatasi ketimpangan ini?

Saya mendorong adanya skema kolaborasi. RMU kecil sebaiknya jangan memaksakan diri menggiling sampai beras siap konsumsi.

Fokus saja ke produksi pecah kulit, lalu jual ke perusahaan besar yang memiliki mesin modern dan efisien. Ini lebih realistis ketimbang memaksakan produksi dengan margin yang merugikan.

Apakah ada peran pemerintah yang bisa lebih maksimal?

Tentu. Pemerintah perlu hadir lebih konkret. Salah satunya dengan memberikan kredit lunak kepada RMU-RMU kecil di desa-desa agar mereka bisa meng-upgrade teknologi penggilingan.

Jika mesin mereka lebih modern dan rendemen bisa naik ke 72–75 persen, petani senang, penggilingan tenang, dan pemerintah pun sukses menjaga keseimbangan pasar.

Harapan Anda terkait kebijakan ini ke depan?

Saya berharap diskursus harga gabah tidak berhenti di kebijakan makro semata. Harus ada langkah teknis dan strategis di lapangan agar petani tetap menjadi pihak yang paling diuntungkan.

Kebijakan harga memang penting, tapi ekosistem pendukungnya juga harus siap. Maka saya mengajak seluruh milenial untuk kembali ke desa. Mari bertani. 

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved