Berita Terkini Nasional
Awal Mula Wanita Penjual Roti Digugat Rp 120 Juta oleh Perusahaan Tempatnya Dulu Kerja
Kini wanita penjual roti tersebut harus menghadapi persoalannya di Pengadilan Negeri Boyolali, Jawa Tengah.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Jawa Tengah - Terungkap awal mula Tita Delima (27) wanita penjual roti digugat perusahaan tempatnya dulu kerja.
Kini wanita penjual roti tersebut harus menghadapi persoalannya di Pengadilan Negeri Boyolali, Jawa Tengah.
Sebab Tita mendapat gugatan hukum senilai Rp 120 juta dari eks perusahaan tempatnya bekerja itu.
Wanita asal Boyolali ini digugat gara-gara dituding mencederai kontrak kerja, yakni tidak boleh 'jumpship' atau pindah ke tempat kerja dengan jenis usaha yang sama.
Gugatan ini berawal dari perjalanan karier Tita yang dulu sempat bekerja sebagai perawat di sebuah klinik gigi di kawasan Solo Baru.
Ia bekerja di klinik tersebut selama hampir dua tahun, di bawah ikatan kontrak kerja berdurasi dua tahun.
Namun, sebelum masa kontraknya habis, Tita merasa tidak betah dan mulai memikirkan masa depan yang berbeda.
Ia memutuskan untuk mengundurkan diri lebih awal, dengan alasan ingin mencari pekerjaan lain yang lebih cocok dan sekaligus merintis usaha kecil-kecilan di bidang kuliner, khususnya roti dan kue.
“Waktu itu saya memutuskan resign sekitar Desember 2024. Tapi pemilik klinik menyetujui untuk saya berhenti lebih cepat, tepatnya pada November 2024. Saya pikir ini kabar baik,” ujar Tita kepada TribunSolo.com, Rabu (30/7/2025).
Namun keputusan itu tak sepenuhnya menyenangkan.
Tita mengaku gaji bulan terakhirnya tidak dibayarkan sebagai bentuk penalti karena berhenti sebelum masa kontrak selesai.
Setelah resmi keluar, Tita mulai menekuni usaha roti rumahan, khususnya nastar.
Dalam prosesnya, ia juga tetap mencoba melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan di luar bidang klinik gigi.
Menyesuaikan dengan isi perjanjian lama yang menyatakan dirinya tidak boleh bekerja di bidang sejenis dalam kurun waktu satu tahun.
Secara tidak terduga, Klinik Gigi Symmetry yang lokasinya juga berada di Solo Baru mulai memesan roti buatan Tita secara rutin karena banyak pasien yang menyukai kue hasil tangannya.
Sejak itu, Tita pun mengantarkan pesanan roti ke klinik tersebut setiap minggu sekali.
“Pasien mereka suka roti saya. Jadi saya hanya antar pesanan ke sana. Sama sekali bukan jadi perawat lagi, apalagi pegawai tetap,” terang Tita.
Tita mengakui pihak Klinik Symmetry sempat mempertimbangkan untuk merekrutnya kembali sebagai perawat di Klinik Symmetry karena latar belakangnya sebagai perawat.
Namun hal itu tidak pernah terjadi, karena Symmetry juga memahami adanya perjanjian kontrak dari tempat kerja lama Tita yang melarangnya bekerja kembali di klinik sejenis dalam masa tunggu tertentu.
Sebagai gantinya, ia hanya diperbantukan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Tidak ada surat kontrak, tanda tangan, atau gaji tetap dari pihak Klinik Symmetry.
Namun belakangan, hal tersebut justru dianggap sebagai pelanggaran kontrak oleh perusahaan tempat Tita dulu bekerja.
Somasi demi somasi pun dikirimkan hingga akhirnya gugatan hukum dilayangkan ke pengadilan, dengan tuntutan ganti rugi sebesar Rp120 juta.
Saat ini proses hukum masih berjalan.
Tita sendiri berharap agar persoalan ini bisa diselesaikan secara damai, karena ia hanya ingin menjalani keseharian sebagai penjual roti nastar rumahan.
“Saya hanya ingin hidup tenang, jualan roti. Tidak ada niat melanggar,” tandasnya.
Somasi Sampai 4 Kali
Kasus ini bermula pada 27 April 2025, saat perwakilan dari pihak klinik datang ke rumah Tita untuk menyampaikan somasi pertama.
Namun karena Tita tidak berada di rumah, ibunya yang menerima surat tersebut.
“Ibu saya bilang ketakutan setelah kedatangan mereka. Saya pun takut ke sana (klinik) karena khawatir diintimidasi atau disuruh tanda tangan dokumen lain,” katanya.
Setelah menolak datang pada somasi pertama, Tita kembali menerima somasi kedua, namun tetap memilih tidak menghadiri panggilan dengan alasan ia merasa tidak bersalah.
“Di somasi kedua saya sudah jelaskan, saya tidak bekerja sebagai perawat, tidak menandatangani kontrak baru, jadi tidak merasa perlu datang,” jelasnya.
Situasi serupa berulang di somasi ketiga dan keempat.
Pada somasi ketiga, Tita menolak menerima tamu karena sedang sibuk.
Sementara di somasi keempat, somasi disampaikan langsung oleh kuasa hukum pihak klinik, yang juga tak digubris karena Tita mengaku takut dan merasa tekanan terlalu besar.
Puncaknya, Tita menerima surat panggilan dari pengadilan.
Dalam sidang pertama, pemilik klinik tidak hadir sehingga ditunda.
Pada sidang kedua, pihak penggugat akhirnya hadir.
“Di sidang saya bilang ingin damai, saya mau minta maaf. Tapi mereka tidak mau karena katanya sudah terlanjur sakit hati,” ucap Tita.
Ia menegaskan tidak pernah berniat melanggar perjanjian.
Bahkan beberapa kali menolak tawaran dari teman-temannya untuk kembali bekerja di klinik gigi, karena sadar masih terikat dengan perjanjian lama.
“Saya ingin semuanya selesai secara damai. Saya enggak mau urusan ini jadi panjang. Ini hanya masalah sepele menurut saya, karena saya memang tidak berniat bekerja di bidang yang sama,” ujarnya.
Kini Tita berharap ada jalan damai dari permasalahan ini.
Ia hanya ingin fokus mencari penghidupan dengan berjualan kue dan roti rumahan, tanpa dibayangi ketakutan akan tuntutan hukum dari tempat kerjanya di masa lalu. (*)
Baca Juga Daftar 10 Wilayah Indonesia Berpotensi Tsunami Imbas Gempa 8,7 SR di Rusia
Bunuh Wanita Hamil, Muh Jibril Dituntut 20 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Polisi Tangkap Pria yang Tikam Korban hingga Tewas Gegara Tatapan Mata |
![]() |
---|
Perangkat Desa Minta Maaf Setelah Viral Pamer Mobil Rekannya meski Bergaji Rp 2 Juta |
![]() |
---|
Pernyataan Keras Cucu Bung Hatta pada Presiden Prabowo dan Gibran |
![]() |
---|
Kades Wardi Sutandi Tanggapi Santai Ancaman Gubernur Dedi Mulyadi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.