Laporan Reporter Tribun Lampung Noval Andriansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Sejumlah warga Bandar Lampung mengeluhkan harga jual obat generik di apotek, yang lebih mahal dari harga eceran tertinggi (HET).
Padahal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mewajibkan penjualan obat generik harus sesuai HET.
Perbedaan harga obat juga bervariasi antara apotek ternama maupun apotek kecil.
Meskipun, apotek sama-sama menjual obat di atas HET.
Baca: Perda Kawasan Tanpa Rokok Sudah Berlaku di Lampung, Ini 8 Lokasinya
Selisih harga bahkan ada yang mencapai 20 persen lebih tinggi dari HET.
Pasal 7 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi HET Tertinggi Obat menyebutkan, apotek, toko obat, dan instalasi farmasi rumah sakit atau klinik hanya dapat menjual obat dengan harga yang sama, atau lebih rendah dari HET.
Seorang warga Way Kandis, Widya (32) mengungkapkan, ia beberapa kali membeli obat generik berupa Amoxicillin di apotek.
Karena sering diresepkan dokter, dan harga yang murah, ia lantas memilih langsung membeli sendiri obat tersebut di apotek, apabila merasa tidak enak badan.
"Memang ada selisih pada HET yang tertera di bungkus obat, sama harga yang harus dibayarkan. Padahal semestinya kan harga paling tingginya sesuai HET," ungkap Widya, Minggu (18/3/2018).
Meski begitu, Widya mengaku tetap membeli obat tersebut karena merasa membutuhkan.
Selain itu, selisih harga yang dibayarkan dianggap tidak terlalu mahal.
"HET di bungkus tertera Rp 4 ribuan, tapi dijual Rp 5 ribu. Karena butuh, ya saya beli," ucap Widya.
Seorang warga Way Halim, Astia Putri (25) mengalami hal serupa.
Ia mengaku terpaksa tetap membeli obat dari apotek, meski harga jualnya lebih mahal dibanding HET yang tertera.
"Ayah saya minum obat kolesterol merek Simvastatin. Di bungkus tertera harganya Rp 4.800, tapi pas bayar diminta Rp 6.000 buat satu lempeng," terang Astia.
Tribun melakukan penelusuran di enam apotek di Bandar Lampung pada pada Kamis (15/3/2018) dan Jumat (16/3/2018).
Tiga di antaranya merupakan apotek ternama yang terletak di bilangan Jalan Wolter Monginsidi, Jalan Raden Intan, dan Jalan Teuku Umar.
Dalam penelusuran tersebut, Tribun menanyakan empat merek obat generik, yaitu Simvastatin 20 mg (obat kolesterol), Amoxicillin (antibiotik), Asam Mefenamat kapsul 250 mg (obat pereda nyeri), dan Ranitidin tablet 150 mg (obat asam lambung).
Berdasarkan keterangan Dinas Kesehatan (Diskes) Lampung, keempat obat tersebut biasanya paling banyak dikonsumsi pasien.
Dari enam apotek tersebut, seluruh apotek ternyata menjual obat generik di atas HET.
Pada tiga apotek ternama, harga jual keempat obat tersebut tidak memiliki perbedaan.
Sementara pada apotek kecil, ada selisih harga jual berkisar Rp 100-Rp 200 untuk setiap obat, di antara tiga apotek yang ditelusuri.
Harga jual dua obat generik di apotek kecil pun lebih tinggi dibanding apotek ternama, yaitu Simvastatin dan Ranitidin.
Sementara, Amoxicillin memiliki harga jual serupa, baik di apotek ternama maupun apotek kecil.
Adapun, obat bermerek Asam Mefenamat justru memiliki harga jual lebih mahal di apotek ternama.
Asam Mefenamat memiliki HET sebesar Rp 16.632.
Di apotek ternama, obat tersebut dijual Rp 20 ribu, atau lebih tinggi 20,25 persen dari HET.
Sedangkan di apotek kecil, Asam Mefenamat dijual Rp 18 ribu, atau lebih tinggi 8,22 persen dibanding HET.
Dijawab Tak Tahu
Astia menuturkan, dirinya pernah menanyakan perbedaan harga obat tersebut kepada petugas apotek.
"Saya tanya ke petugasnya, dia juga katanya tidak tahu mengapa beda," tutur Astia.
Rasa penasaran juga membuat Widya bertanya mengenai perbedaan harga obat yang ia beli.
Namun, Widya mendapat jawaban yang dianggapnya tidak memuaskan.
"Yang jual bilang tidak tahu kenapa beda harganya. Jawabannya cuma itu," ujar Widya.
Penelusuran Tribun di enam apotek, para petugas pun mengaku tidak tahu menahu terkait perbedaan HET dan harga jual obat.
"Saya tidak tahu. Saya hanya menjualkan saja," terang seorang petugas apotek di Sukarame.
Seorang petugas apotek di kawasan Tanjung Senang mengatakan, harga jual telah ditetapkan dari produsen.
Ia pun mengaku tidak paham terkait perbedaan harga jual dengan HET.
"Setahu saya, memang dari produsennya segitu harganya (harga jual). Kalau beda dengan yang tertera di bungkus (HET), saya tidak tahu juga kenapa," jelasnya.
Sudah Untung
Humas Diskes Lampung, Asih Hendrastuti mengungkapkan, HET ditetapkan pemerintah setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk keuntungan yang diperoleh produsen.
"HET itu di dalamnya sudah ada keuntungan produsen. Misalnya, HET Rp 10 ribu, keuntungan produsen itu sekitar 26 persen. Jadi kalau ada yang menjual di atas HET, itu bisa untung banyak. Itu pasti kena sanksi," jelas Asih.
Pengawasan terkait penjualan obat di apotek, Asih menuturkan, merupakan kebijakan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM).
"Tetapi biasanya memang, kalau tinjuan lapangan, pasti bersama tim, termasuk di dalamnya diskes kabupaten/kota. Karena, yang memberikan izin apotek itu diskes. Jadi, diskes berkontribusi memberikan pembinaan," terang Asih.
Kepala BBPOM Bandar Lampung, Syamsuliani, membenarkan bahwa HET telah memperhatikan keuntungan para pihak dalam jalur distribusi penjualan obat generik.
Karena itu, obat generik tidak boleh dijual di atas HET.
Ia mengungkapkan, penetapan harga jual obat sudah jelas tertuang dalam Permenkes Nomor 98 Tahun 2015. Di mana, sesuai pasal 7 ayat 1 permenkes tersebut, harga jual harus minimal sama atau lebih rendah dari HET.
"HET itu saja sudah jelas, harga tertinggi. Jadi, tidak boleh menjual obat melebihi (HET) itu," papar Syamsuliani.
Untuk menegakkan permenkes tersebut, lanjut Syamsuliani, BBPOM terus melakukan pengawasan terkait penjualan obat di apotek.
Walau demikian, Syamsuliani menerangkan, pihaknya belum pernah menemukan penjualan obat generik di atas HET.
Selain itu, BBPOM juga belum pernah menerima laporan masyarakat terkait hal serupa.
"Untuk temuan, sejauh ini, kami belum menemukan (penjualan obat melebihi HET). Kalau memang ada pengaduan dari masyarakat, kami akan tindak lanjuti," kata Syamsuliani.
BBPOM, sambung Syamsuliani, pun mengimbau masyarakat agar melapor ke BBPOM, apabila membeli obat dengan harga di atas HET.
"Itu masuk ke Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen. Karena, konsumen dirugikan," ungkap Syamsuliani.
Cabut Izin
Meski berwenang melakukan pengawasan terhadap penjualan obat, Syamsuliani menjelaskan, BBPOM tidak bisa memberikan sanksi.
Hal itu karena proses perizinan pendirian apotek menjadi kewenangan diskes.
"Tindak lanjut pemberian sanksi menjadi kewenangan diskes. Mulai teguran sampai izin tidak diperpanjang," tutur Syamsuliani.
Baca: Harga Tanah di Bandar Lampung Naik 10 Kali Lipat, Ini Penyebabnya
Asih mengatakan, sanksi bisa diberikan kepada apoteker maupun apotek. Sanksi terberat adalah pencabutan izin apotek.
"Izin (apotek) bisa tidak diperpanjang kalau selalu ketahuan `nakal'. Termasuk, menjual obat di atas HET," ungkap Asih.
Artikel ini telah terbit di Laporan Liputan Khusus Koran Tribun Lampung edisi Kamis, 22 Maret 2018.