Firasat Harmoko dan Patahnya Palu Sidang Jelang Tumbangnya Soeharto

Editor: nashrullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Soeharto saat membacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.

Sebenarnya, sepanjang tahun 1997, pencalonan Soeharto sebagai presiden ketujuh kalinya sudah menjadi diskursus publik.

Apalagi, ada keinginan dari Pak Harto yang diutarakannya kepada publik untuk lengser keprabon madeg pandito.

Publik pun mencari jawaban yang pas di balik ucapan tersebut.

Sebagian menilai Pak Harto tak ingin lagi dipilih menjadi Presiden.

Namun, Partai Golkar dalam peringatan hari jadinya pada Oktober 1997 menyatakan telah bulat mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.

Soeharto lantas meminta agar pencalonannya diteliti lagi.

Baca: Pedagang Kaki Lima Boleh Berdagang di Trotoar hingga Lebaran, Setelah Itu Silakan Pindah

Dalam sambutannya sebagai ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Pak Harto menanggapi pencalonannya dengan ungkapan cerita pewayangan "Lengser Keprabon".

Dalam pidatonya, mantan Panglima Kostrad itu menyatakan bukan masalah baginya apabila rakyat sudah tidak memercayainya lagi sebagai pemimpin.

Soeharto saat membacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (Wikimedia/Creative Commons)

"Saya akan menempatkan diri sebagaimana dalam falsafah pewayangan, yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin, akan menjadi begawan)," tutur Soeharto ketika itu.

Sementara di tingkat publik, pernyataan tersebut ditangkap sebagai keengganan Pak Harto menjadi Presiden lagi.

Bahkan, beberapa tokoh nasional memelopori perlunya suksesi kepemimpinan nasional pasca-Soeharto.

Satu tokoh yang vokal di antaranya adalah Amien Rais.

Pada periode itu pula, kritik-kritik tajam mengarah kepada pemerintah dan Presiden Soeharto.

Penyebabnya adalah krisis ekonomi tahun 1998 yang memunculkan gejolak sosial.

Harga kebutuhan pokok melambung, rakyat pun "menjerit".

Halaman
1234

Berita Terkini