TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Pengeboman di Hotel JW Marriot, Jakarta, pada tahun 2003 menyisakan trauma panjang bagi Fifi, perempuan yang menjadi korban pengeboman tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, ia ikhlas menerima kenyataan.
Fifi menuturkan kisahnya itu dalam acara peluncuran sekaligus bedah buku karya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius di Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Komjen Suhardi meluncurkan total empat buku. Masing-masing berjudul Catatan Suhardi Alius, Memimpin dengan Hati: Pengalaman sebagai Kepala BNPT; Catatan Suhardi Alius, Pemahaman Membawa Bencana: Bunga Rampai Penanggulangan Terorisme; Catatan Suhardi Alius, Menjalin sinergi: 14 Bulan sebagai Kabareskrim Polri; dan Catatan Suhardi Alius, Resonansi Kebangsaan: Membangkitkan Nasionalisme dan Keteladanan.
Momen di mana Fifi akhirnya ikhlas menerima kenyataan terjadi setelah ia bertemu Ali Fauzi yang terlibat Bom Bali I. Ali Fauzi adalah adik kandung trio pengebom di Bali: Ali Gufron alias Mukhlas, Ali Imron, dan Amrozi. Fifi bertemu Ali Fauzi di Surabaya, Jawa Timur, pada tahun 2016.
Saat pertemuan itu, Fifi ingin sekali menyiram wajah Ali Fauzi menggunakan garam dan cuka. Ia ingin Ali Fauzi merasakan kepedihan yang ia dan para korban lainnya alami. Emosi memicu Fifi mencaci-maki Ali Fauzi untuk meluapkan kemarahan.
"Saat saya caci-maki, beliau diam, malah menangis. Terus saya bilang, 'Kenapa teroris bisa menangis?' Akhirnya, saya terenyuh dengan apa yang beliau sampaikan. Ketulusan beliau untuk hijrah, tobat, saya dan teman-teman akhirnya bisa menerima," kenang Fifi.
Suara Fifi bergetar saat menceritakan pengalamannya kepada para audiens peluncuran buku tersebut. Ia menuturkan hal terberat dalam hidupnya usai pengeboman yang merusak sebagian anggota tubuhnya.
"Luka itu membutuhkan pengobatan selama tujuh bulan. Dan yang paling berat adalah, saya tidak siap menghadapi pernikahan saya," ujarnya dengan suara parau.
Fifi bingung lantaran momen pernikahannya semakin dekat. Saat itu, ia belum bisa menerima kenyataan tangannya tidak bisa berfungsi secara normal. Fifi khawatir tidak bisa bersalaman dengan para tamu undangan.
Alhasil, Fifi merelakan pernikahannya dengan sang pujaan hati batal.
"Bagaimana menyalami dengan tangan saya yang terbungkus? Saya tidak sanggup. Akhirnya saya putuskan tidak jadi menikah," katanya.
Trauma Lewat Lokasi Pengeboman
Fifi lalu berkonseling dengan beberapa psikolog. Tujuannya untuk mengembalikan keberanian dan menghilangkan trauma. Termasuk, trauma melintasi lokasi pengeboman yang memberi memori buruk baginya. Kecemasannya juga membuat ia enggan melanjutkan pekerjaan.
Seiring waktu, konseling yang Fifi jalani cukup membantu. Satu dari sekian cara yang harus ia lakukan memang sempat membuatnya ragu. Fifi harus mencoba mendatangi lokasi yang pernah membuat hidupnya seketika hancur.
"Saya tidak sanggup bekerja lagi. Stres. Konseling dengan psikolog, akhirnya mereka menyampaikan bahwa saya harus menghadapi ini. Saya harus bisa berada di tempat saat peristiwa (pengeboman) itu terjadi," tutur Fifi.
Perlahan namun pasti ia mencoba saran tersebut. Fifi mulai mencoba melangkahkan kakinya ke kawasan Hotel JW Marriot. Ia mengawalinya dengan melintasi kawasan perbelanjaan ITC Ambassador.