Tribun Lampung Utara

Napi Lapas Kotabumi Meninggal Diduga karena HIV/AIDS, Ini Saran dari TB-HIV Care Aisyiyah Lampung

Penulis: Daniel Tri Hardanto
Editor: taryono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kader TB-HIV Care Aisyiyah Lampung bersama Dinas Kesehatan seusai melakukan sosialisasi TBC di Lapas Rajabasa, Bandar Lampung, Minggu, 10 Maret 2019 lalu.

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, KOTABUMI - TB-HIV Care Aisyiyah Lampung mengaku prihatin atas meninggalnya narapidana Lapas Kelas IIA Kotabumi karena diduga mengidap HIV/AIDS.

"Menjadi keprihatinan kita bersama dengan meninggalnya warga binaan," ujar Project Manager TB-HIV Care Aisyiyah Lampung Sudiyanto, Rabu, 20 Maret 2019.

Sudiyanto berharap, penghuni rutan atau lapas secara rutin diberikan penyuluhan dan screening secara berkala.

Hal itu mengingat padatnya tingkat hunian rutan dan lapas. 

"Setiap pasien HIV rentan tertular tuberkulosis. Sehingga setiap pasien yang terdeteksi  TBC-HIV harus mendapatkan jaminan atas akses obat dan perlakuan khusus agar tidak menularkan ke warga binaan yang lain," beber Sudiyanto.

Sebagai bentuk kepedulian, TB-HIV Care Aisyiyah Lampung sudah melakukan sosialisasi di Lapas Rajabasa Bandar Lampung, Minggu, 10 Maret 2019 lalu.

Sudiyanto menjelaskan, secara medis ada beberapa jenis TBC.

Pertama, TBC paru yang menyerang paru-paru dan menular melalui pernapasan.

Lalu ada TBC ekstraparu yang menyerang kelenjar, tulang, dan kulit.

Penjelasan Kalapas Kotabumi soal Meninggalnya Narapidana Diduga karena HIV/AIDS

Selain itu, kata Sudiyanto, TBC tidak hanya menyerang orang dewasa, melainkan juga anak-anak.

"Ada pula TBC menurut tingkatan kuman. TBC reguler membutuhkan pengobatan 6 bulan. Sedangkan TBC resisten obat harus menjalani pengobatan 24 bulan," imbuhnya.

Sudiyanto menjelaskan, ada penyakit lain yang umum menyertai TBC atau sebaliknya, yakni TBC DM (diabetes melitus) dan TBC HIV.

"Di Indonesia, diperkirakan ada 3 persen pasien TBC dengan status HIV positif," sebutnya.

Menurut dia, TBC merupakan tantangan dalam mengendalian HIV/AIDS karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

"Orang dengan tanda-tanda atau gejala TBC harus diperiksa untuk memastikan status TBC-nya. Gejala TBC meliputi batuk berdahak, berat badan menurun, berkeringat di malam hari tanpa aktivitas, dan nafsu makan berkurang," jelas Sudiyanto lagi.

Kemudian, orang yang tinggal bersama dan punya interaksi intens dengan pasien TBC, misalnya tetangga atau teman kerja, harus dilakukan screening guna memastikan status TBC-nya.

Penularan HIV, terus dia, umumnya terjadi melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntik atau alat tusuk tubuh bergantian sehingga terjadi perpindahan cairan tubuh, transfusi darah, atau dari ibu penderita HIV ke anak yang dikandung.

Orang yang dengan risiko tersebut harus memeriksakan dirinya untuk mendapatkan status HIV, apakah positif atau negatif.

"Pengendalian TBC dan HIV harus dilalukan beriringan karena angka mortalitas (kematian) ODHA paling tinggi disebabkan karena menderita TBc juga," kata dia.

Diduga Idap HIV/AIDS, Napi Rutan Kotabumi Meninggal Dunia

Seharusnya, pelayanan kesehatan orang terduga TBC dan HIV merupakan bagian dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesehatan.

Guna penanggulangan penyakit menular di Lampung, diperlukan rencana aksi dari masing-masih kabupaten/kota sehingga bisa segera mengeliminasi penyakit menular yang lazim, seperti TBC, HIV, dan malaria.

Di luar itu, terus Sudiyanto, setiap orang berhak mendapatkan akses layanan kesehatan dan dipastikan mendapatkan pengobatan dan obat yang dibutuhkan dalam pengendalian TBC dan HIV.

"Juga diperlukan kerja sama pemerintah, organisasi masyarakat, dan swasta untuk dapat menjangkau konsentrasi penduduk di kawasan khusus seperti mes perusahaan, kawasan berikat, lapas, panti, dan boarding school (asrama, ponpes) untuk dilakukan screening guna memutus rantai penularan TBC dan HIV.

Penjelasan Kalapas Kotabumi

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kotabumi Tetra Destori buka suara soal meninggalnya seorang narapidana. 

Warga binaan berinisial RA itu diduga mengembuskan napas terakhir karena mengidap HIV/AIDS.

Benarkah demikian?

Tetra menjelaskan, RA meninggal dunia di RSUD Ryacudu, Kotabumi, Jumat, 15 Maret 2019 pagi.

"Warga binaan pemasyarakatan tersebut dirujuk ke rumah sakit pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 04.45 WIB," kata Tetra, Rabu, 20 Maret 2019. 

Kondisi RA, terus dia, mulai kritis sejak pukul 05.30 WIB.

Dari hasil pemeriksaan dokter, RA didiagnosis mengidap tuberkulosis paru.

Karena kondisi kesehatannya semakin memburuk dan kesadarannya semakin menurun, akhirnya pasien meninggal dunia.

Narapidana Meninggal Terkena HIV/AIDS, Rutan Kotabumi Membantah

Keterangan tersebut sedikit berbeda dengan yang dikatakan Direktur RSUD Ryacudu Kotabumi Syah Indra Lubis.

Dia mengatakan, pasien meninggal dunia diduga karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya.

Menurut Indra, pasien tersebut merupakan kiriman dari rumah sakit lain, kemudian dirujuk ke RSUD Ryacudu dalam kondisi sudah tak bernyawa, Minggu, 17 Maret 2019 sore.

Setelah itu, jenazah langsung diambil oleh keluarganya untuk dimakamkan, Senin, 18 Maret 2019 siang.

“Dia sudah terkena penyakit HIV/AIDS sebelum meninggal,” kata Indra.

Indra menolak menyebutkan identitas pasien tersebut.

Ia hanya mengatakan, pasien tersebut berjenis kelamin laki-laki dan bertempat tinggal di Lampung Utara.

“Saya tidak bisa sebutkan nama dan alamatnya,” tegasnya.

Soal kronologi, Indra juga tidak mengetahui persis.

Sebab, ia sudah meninggal ketika masuk ke RSU Ryacudu.

Menariknya, Indra menyebutkan bahwa pasien AIDS tersebut tercatat sebagai seorang narapidana yang sedang menjalani hukuman di Rutan Kotabumi.

Berdasarkan informasi, pasien tersandung kasus narkoba. (Tribunlampung.co.id/Daniel Tri Hardanto)

Berita Terkini