Ia bersyukur atas semua berkah dalam kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya. Belajar bersyukur tiada henti, adalah salah satu falsafah hidup Doni yang jarang orang ketahui.
Bahkan, ia mensyukuri tugas negara yang dibebankan di pundaknya, sebagai Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Bukan persoalan ia harus jauh dari keluarga. Bukan persoalan ia harus bekerja ekstra keras hingga tidak pulang ke rumah berbulan-bulan. Bukan karena jam tidurnya yang hanya tiga-empat jam per hari.
Ia bersyukur karena Tuhan melalui tangan pemerintah, memposisikan dirinya menjadi bagian sentral dari sejarah.
Peristiwa wabah skala besar hingga menjadi catatan “sejarah dunia” umumnya berulang setiap satu abad.
Pada tahun 1720, dunia dilanda wabah The Great Plague of Marseille yang membunuh kira-kira 100 ribu orang di Marseille, Perancis. Penyakit ini disebarkan melalui lalat yang membawa bakteria penyebab penyakit ini.
Pada tahun 1820, dunia dilanda wabah kolera. Wabah ini menyebabkan kira-kira 100 ribu orang terpapar.
Kemudian tahun 1920 dunia dilanda penularan wabah Spanish Flu. Penyakit ini dicatatkan sebagai penyakit yang paling berbahaya dan menewaskan 100 juta orang.
Kini di tahun 2020, dunia sekali lagi dikejutkan dengan penyebaran wabah Coronavirus yang bermula di wilayah Wuhan, China. Hampir semua permukaan bumi terpapar wabah ini, termasuk Indonesia.
Jadi, kata Doni, saya harus syukuri tugas ini dengan bekerja keras dan bekerja sungguh-sungguh.
Soal hasil, tambahnya, ia tidak terlalu risau.
Yang pasti, ia telah menancapkan semangat nan tak kunjung padam untuk berperang habis-habisan melawan Covid-19. (Tribunnews.com)
*Oleh Egy Massadiah, Tenaga Ahli BNPB, Anggota Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "Kue Tart di Medan Tempur Doni Monardo"