UM Metro

Mukhtar Hadi BPH UM Metro Jelaskan Beragama yang Memudahkan dan Menggembirakan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr.Mukhtar Hadi, M.Si. (Anggota BPH UM Metro)

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, METRO - Riuh rendah pandemi covid-19 ternyata bukan hanya soal dampak wabah itu terhadap kesehatan dan ekonomi tetapi juga menyentuh aspek keagamaan.

Betapa tidak, dalam rangka mencegah penularan covid-19 itu pemerintah melakukan berbagai pembatasan dan salah satu yang dibatasi adalah aktivitas peribadatan yang mengumpulkan atau menyebabkan berkumpulnya orang banyak.

Shalat Jama’ah di masjid dan musholla yang sebelum pandemi berjalan normal tanpa hambatan, kini dibatasi hanya lima puluh persen, bahkan di wilayah yang masuk zona merah dilarang dilakukan.

Bukan melarang shalatnya, tetapi yang dilarang shalat berjama’ah di masjid, dan sebagai gantinya shalatnya disuruh sendiri-sendiri di rumah masing-masing. Dalam dua kali Idul fitri dan Idul Adha, tahun 1441 H dan 1442 H umat Islam dianjurkan untuk melaksanakannya juga di rumah masing-masing, tidak dianjurkan di lapangan terbuka ataupun masjid.

Bukan hanya shalat Id, namun ibadah haji yang sudah sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar umat Islam selama dua tahun ini tidak dibuka secara luas oleh pemerintah Arab Saudi kecuali hanya terbatas saja.

Sebenarnya bukan hanya umat Islam saja yang mengalami pembatasan dalam peribadatan. Mereka yang non-Muslim mengalami hal yang sama. Peribadatan rutin terutama misa mingguan bagi umat Katholik juga dibatasi kapasitasnya. Di beberapa daerah yang masuk zona merah dilarang dan misa diarahkan untuk dilaksanakan secara daring. Upacara keagamaan umat Hindu dan Budha juga mengalami hal yang sama. Intinya tidak jauh berbeda, dibatasi kapasitasnya atau dilarang dan dianjurkan untuk dilakukan secara daring jika memungkinkan atau peribadatan cukup dilaksanakan di rumah masing-masing.

Dalam menghadapi dan menerima kebijakan pembatasan aktivitas peribadatan itu masyarakat umumnya terbelah.

Ada yang menerima kebijakan itu dengan alasan-alasan rasionalnya, namun tidak sedikit pula yang tidak  bisa menerima atau setidaknya kurang sependapat.

Bagi yang bisa menerima umumnya memahami bahwa wabah pandemi itu memang betul-betul nyata dan oleh karenanya pembatasan perbadatan bisa dipahami sebagai ikhtiar untuk mencegah penularan wabah yang lebih besar.

Bagi yang menolak atau tidak sependapat beralasan bahwa soal ibadah adalah persoalan azasi bagi setiap orang beragama yang jika tidak sesuai dengan ajaran syariat agama maka bisa menyebabkan ibadah tidak diterima atau terasa kurang afdhol jika segala ketentuannya tidak sama persis dengan apa yang diajarkan.

Lebih-lebih ada yang berpandangan, justru ketika bencana terjadi maka harus semakin intens dalam beribadah dan berdoa kepada Tuhan supaya wabah segera berakhir. Karena itu jangan dilarang-larang atau dibatasi.

Silang sengketa dan riuh rendah menanggapi kebijakan ibadah di masa pandemi ini bisa kita lihat dan  rasakan dalam dunia maya terutama di sosial media dan pemberitaan media.

Bermunculan hujatan kepada pemerintah yang dinilai berusaha menjauhkan umat dari agamanya sampai menuduh bahwa pemerintah telah disusupi ideologi anti agama.

Sosial media dipenuhi dengan konten hoax, baik dalam bentuk foto, video, ujaran atau tulisan yang tujuannya untuk membangun opini bahwa wabah adalah akal-akalan pemerintah untuk mengkebiri kebebasan beragama yang ujungnya akan menghapus agama dari bumi pertiwi.

Semua kebijakan yang beririsan dengan persoalan agama selalu dicurigai sebagai cara halus dan perlahan untuk menghancurkan agama.

Halaman
1234

Berita Terkini