Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Munir Irawan (58) tampak sibuk melayani para pembeli yang singgah ke tokonya di Pasar Tamin, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Satu per satu dari mereka membeli barang yang dibutuhkan dari toko kelontong tersebut.
Menariknya, ada dua tipe pembayaran yang dilakukan di sana.
Ada yang bertransaksi secara tunai, sementara yang lainnya memilih pakai Quick Response Code Indonesian Standard alias QRIS (baca: kris) BRI.
“Memang beberapa pembeli pakai QRIS, tapi tidak banyak,” kata Munir pada Tribunlampung.co.id, Rabu (24/5/2023).
Dijelaskan Munir, dirinya sudah menyediakan alat pembayaran digital tersebut sejak 2021 silam.
Kala itu, dia dan para pedagang lainnya di Pasar Tamin menjadi pasar percontohan menggunakan QRIS.
Baca juga: Harga Naik, Pemkot Bandar Lampung Pastikan Stok Telur Aman
Pihak bank datang langsung untuk memberikan pengetahuan terkait penggunaan dan cara kerjanya.
Karena itulah, menjadi pemandangan yang biasa di Pasar Tamin ada barcode QRIS terpampang di depan toko.
Namun sayangnya, peminat transaksi digital tersebut masih sedikit.
Dikatakan Munir, hanya kalangan tertentu seperti pegawai kantoran yang menggunakannya.
“Biasanya orang-orang yang kerja atau ya yang ngerti ngerti aja,” imbuhnya.
Satu di antara pelanggan yang menggunakan QRIS di sana adalah Putri Salamah (25).
Pegawai swasta yang kedapatan sedang membeli telur itu mengaku lebih menyukai pembayaran secara digital.
“Lebih praktis, karena gak biasa bawa uang tunai banyak-banyak,” terang dia.
Baca juga: Qris Bank Lampung, Jagoan Baru yang Bakal Mengamankan Transaksi Nasabah
Selain itu, dirinya juga tidak perlu khawatir uangnya tercecer lantaran menerima kembalian saat berbelanja.
“Kalau tunai kan sering dapat uang receh, jadi sulit buat simpannya,” imbuhnya lagi.
Minimnya pengguna QRIS sempat disayangkan oleh Munir.
Menurutnya, memang ada banyak alasan mengapa warga setempat masih belum fasih bertransaksi nontunai.
“Kadang ada yang takut karena gak bisa, belum ngerti, ya banyak alasan lainnya,” kata dia.
Hal senada disampaikan oleh pedagang lainnya, Hernani (46).
Pemilik toko kelontong Sumber Rizky tersebut menyebut masih banyak pelanggannya yang lebih memilih berbelanja secara tunai.
“Kebanyakan kan di sini orang-orang awam, ibu-ibu dan bapak-bapak, jadi masih pada belum ngerti,” katanya.
Ia menambahkan, para pelanggannya kebanyakan gaptek sehingga sulit mengoperasikan ponsel pintar untuk bertransaksi digital.
“Banyak yang bilang ribet karena harus buka hp, harus punya internet,” kata dia.
Meski demikian, keduanya mengaku bakal tetap mempertahankan QRIS kedepannya.
Sebab, ada banyak keuntungan yang didapat dari pembayaran digital tersebut.
Baik dirinya sebagai penjual maupun para pembeli tidak perlu lagi repot-repot membawa uang dalam jumlah banyak seperti saat bertransaksi tunai.
“Gak perlu repot-repot ngitung uang, gak perlu siapkan kembalian,” kata Munir.
Selain itu, keunggulan yang paling krusial adalah terhindar dari peredaran uang palsu.
“Otomatis kan masuk ke rekening tuh, jadi udah pasti aman,” imbuh dia.
Bahkan Munir optimis, pembayaran digital seperti QRIS nantinya bakal diminati dan jadi solusi pembayaran di masa mendatang.
“Ini kan proses ya, jadi butuh waktu bagi masyarakat untuk beradaptasi,” tutupnya.
( Tribunlampung.co.id / Kiki Novilia )