Tribunlampung.co.id, Lampung Barat - Gempa berkekuatan 6,5 skala Richter seketika mengguncang Liwa Lampung Barat pada 16 Februari tahun 1994.
Suasana keheningan dini hari pun seketika membuncah menjadi jerit dan tangis warga Lampung Barat.
Baca juga: Pemkab Lampung Barat Ziarah ke Makam Korban Gempa Liwa 1994
Baca juga: Pantau Ketersedian Beras, Pj Bupati Lampung Barat Sidak ke Pasar Liwa
Sedikitnya, 207 orang meninggal dunia dan 2 ribu lebih masyarakat Lampung Barat luka-luka pada tragedi gempa Liwa 1994.
Jumlah penduduk yang kehilangan tempat tinggal akibat gempa Liwa saat itu hampir mencapai 75 ribu jiwa.
Dampak gempa pun diketahui terasa sampai 40 kilometer dari ibu kota Kabupaten Lampung Barat.
Tragedi gempa Liwa 1994 pun hingga kini menjadi sejarah pilu yang belum bisa dilupakan masyarakat Lampung Barat.
Sejumlah masyarakat Lampung Barat berbagi kisah dan pengalaman detik-detik mencekam saat terjadinya musibah gempa Liwa 1994 kepada Tribunlampung.co.id, Minggu (24/9/2023).
Salah satunya Agus (58), warga Pekon Watas, Kecamatan Balik Bukit.
Ia menuturkan, gempa terjadi tepat pada malam bulan Ramadhan.
“Seingat saya waktu itu kejadian gempa dahsyat ini terjadi pada bulan puasa dan terjadi pada dini hari,” kenangnya.
Saat kejadian, cerita Agus, masyarakat Lampung Barat rata-rata sedang istirahat.
"Mungkin karena itu menyebabkan banyak korban,” terangnya.
Agus yang waktu kejadian masih berusia 29 tahun sedang berada di rumah dan belum bisa tidur.
Saat itu, dirinya sedang berada di dalam rumah bersama sang istri yang berada di kamar.
Singkat cerita, gempa dengan kekuatan 6,5 SR pun mengguncang Lampung Barat sehingga membuat dirinya panik.
“Waktu itu yang saya rasakan gempanya kuat banget dan durasinya lumayan lama"
"Kami di dalam rumah panik,”
“Karena ngerasa gempanya lumayan parah kami langsung lari ke luar rumah untuk menyelamatkan diri,” bebernya.
Ketika berhasil ke luar rumah, ia melihat warga sudah berhamburan juga ke luar rumah.
Sedangkan rumah miliknya yang berbahan dasar dominan dari kayu perlahan roboh dan ambruk ke tanah.
“Sudah enggak mikirin apa-apa lagi waktu itu. Yang penting saya sama keluarga udah ke luar mengamankan diri,”
“Namun banyak juga saat kejadian itu warga yang belum sempat menyelamatkan diri karena masih istirahat,” imbuhnya.
Agus yang merupakan pengusaha opak saat itu tinggal dekat dengan rumah salah satu kakak kandungnya.
Sewaktu masih diguncang gempa, ia pun mengecek rumah kakaknya untuk melihat apakah sudah menyelamatkan diri.
“Saat ke rumah kakak itu, ternyata mereka juga sudah berhamburan ke luar rumah untuk menyelamatkan diri,”
“Saya salut dengan kakak saya yang waktu itu masih sempat menahan bangunan rumahnya agar orang di dalam bisa ke luar,” tuturnya.
Kondisi semakin mencekam ketika listrik mati total yang membuat seluruh kota gelap dan hanya diterangi cahaya bulan.
Jerit dan tangis terdengar jelas di kuping Agus yang saat itu masih belum percaya bahwa wilayahnya diguncang bencana dahsyat.
Tak lama berselang, Agus dengan ayahnya bergegas untuk pergi menaiki motor mengarah ke pusat kota Liwa.
Ia pun melihat jelas bangunan-bangunan yang ada pada saat itu hampir semuanya rata dengan tanah akibat guncangan gempa.
Saat itu, petugas bersama masyarakat pun langsung melakukan upaya evakuasi untuk menyelamatkan korban-korban yang tertimpa bangunan.
Korban-korban yang meninggal dunia waktu itu dikumpulkan di satu titik dekat dengan RSUD Alimuddin Umar yang saat ini menjadi lokasi Ham Tebiu.
Di lokasi itu, para jenazah korban meninggal dunia itu dimandikan massal menggunakan sumber air yang ada di lokasi itu.
Agus mengatakan, para korban jiwa langsung dimakamkan di satu tempat berdekatan dengan lokasi pemandian massal.
Lokasi pemakaman tidak jauh dari RSUD Alimuddin Umar yang saat ini telah menjadi monumen.
Hal senada juga dikatakan oleh salah satu warga Liwa, Lampung Barat yang bernama Antoni.
Meski saat kejadian dirinya masih anak kecil, namun peristiwa mengerikan itu tetap melekat pada ingatannya.
Ia mengungkapkan, Kelurahan Pasar Liwa menjadi lokasi yang terdampak kerusakan paling parah akibat guncangan gempa.
Sehingga banyak masyarakat Liwa saat itu yang kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi sementara di lapangan terbuka.
“Lapangan itu yang sekarang kita kenal dengan Lapangan Merdeka. Lokasi itu menjadi tempat pengungsian ribuan masyarakat,”
“Ya mau gimana lagi, rumah sudah pada hancur. Rata-rata sudah rat dengan tanah dan tidak tersisa. Hanya ada beberapa saja yang tersisa,” ucapnya.
Lebih lanjut, dirinya juga mengaku bahwasannya banyak kerabatnya yang menjadi korban atas bencana gempa dahsyat itu.
Meski merasa terpukul, ia bersama keluarga tetap bersabar dan perlahan bangkit untuk memulai lagi kehidupan seperti biasa.
Pasca kejadian gempa dahsyat, perlahan masyarakat Lampung Barat terkhusus di Liwa mulai bangkit.
Saat itu pembangunan permukiman penduduk, perkantoran, dan sekolah kembali dibangun dengan konstruksi bangunan antigempa.
Dibangun juga sekitar 60 masjid dan sekolah dengan bahan ferocemen yakni bahan semen dengan dipasang pada tulang-tulang halus sebagai pengganti besi beton.
Diberitakan sebelumnya, dalam rangka mengenang bencana gempa dan seluruh korban, jajaran Pemkab Lampung Barat dan unsur Forkopimda melakukan ziarah dan tabur bunga di lokasi itu, Minggu (24/9/2023).
Ziarah tersebut merupakan rangkain kegiatan dalam rangka memperingati HUT ke-32 Lampung Barat yang jatuh tepat pada hari ini yakni tanggal 24 September 2023.
Diketahui, kegiatan ziarah dan tabur bunga di makan para korban gempa Liwa ini sudah dilakukan rutin terus dilaksanakan setiap tahunnya.
Tampak hadir dalam ziarah itu Pj Bupati Lampung Barat Nukman, Ketua DPRD Lampung Barat Edi Novial.
Terlihat juga Kapolres Lampung Barat AKBP Heri Sugeng Priyantho, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Lampung Barat Deddy Sutendy, Kodim 0422/LB. (Tribunlampung.co.id/Bobby Zoel Saputra)