Sebagai solusi lanjut Asriandi, pemerintah pusat dapat memperhatikan pengaruh impor tepung ke Indonesia.
"Salah satu faktor yg memengaruhi harga singkong adalah pasar tepung tapioka soalnya ada impor, maka harapannya pemerintah pusat memperhatikan pengaruh impor tepung tapioka terhdap harga singkong," tuturnya.
Dalam konteks Lampung, lanjutnya, pasar singkong cenderung oligopsoni.
Artinya ada bebrapa pembeli yang menentukan harga.
Memang pabrik tepung tapioka banyak, tapi sebagian besar terapiliasi dalam satu grup besar.
"Jadi solusinya adalah membuka pasar baru singkong. Ada alternatif misalnya mocaf ( modified cassava flour) atau tepung singkong. Nah tepung ini bisa menjadi substitusi atau pengganti terigu," tuturnya.
"Sayangnya, kurang bersaing karena impor terigu bebas bea impor. Sementara industri tepung singkong tidak bebas pajak"
"Ini tantangannya harus ada kebijakan pemerintah yang lebih memihak produk lokal," sambungnya.
Dia mencontohkan pernah terjadi dalam industri mie.
"Industri mie dulu pernah ada kebijakan untuk mengganti terigu dengan tepung singkong atau mocaf (bukan tapioka) secara bertahap mulai dari 30 persen. Hanya saja tidak terlihat perkembangannya," ucapnya.
Selain itu dulu pernah terjadi komunikasi antara pengusaha dengan kepala daerah untuk menyepakati harga.
"Cara ini juga bisa dilakukan kembali walau mungkin sifatnya sementara. Sebagai produsen singkong yang besar memang ada baiknya membangun ekosistem bisnis singkong dengan pohon industrinya"
"Apalagi pemerintah pusat telah mengarahkan untuk lampung sebagai industri tepung-tepungan," pungkasnya.
Reaksi petani singkong
Petani singkong di Lampung Tengah tidak rela jika memakai acuan harga Rp 900 per kilogram.