Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Ketua Panitia Khusus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung Mikdar Ilyas membenarkan banyaknya pabrik tapioka yang tidak beroperasi karena menghentikan pasokan singkong dari petani.
"Iya hampir seluruh pengusaha menutup pabrik dan menyetop pembelian singkong dari petani. Alasannya kualitas kadar air dan besaran singkong dianggap tidak sesuai. Jadi mereka tidak sanggup membeli dengan harga kesepakatan awal," kata Mikdar, Senin (27/1/2025).
"Menurut pengakuan mereka, dengan kondisi singkong saat ini dan harga Rp 1.400 per kilogram, mereka rugi. Sementara petani meminta agar pengusaha menjalankan kesepakatan bersama," tambahnya.
Menurut Mikdar, diperlukan peran pemerintah pusat untuk mengatasi persoalan ini.
"Jika ini tidak segera dicarikan solusinya, yang ada sama-sama rugi. Petani rugi tidak bisa menjual singkongnya dan pengusaha rugi karena pabriknya tidak bisa beroperasi. Maka yang bisa mengurai ini diperlukan peran pemerintah pusat agar dapat membuat semacam regulasi pasti perihal singkong ini," beber Mikdar.
Untuk itu, terus dia, dalam waktu dekat Pansus Singkong akan menyampaikan persoalan ini ke Komisi IV DPR RI dan Kementerian Pertanian.
“Rencana kami akan berangkat pada 3 Febuari 2025," imbuh politisi Partai Gerindra ini.
Mikdar mengatakan, impor tapioka juga berperan besar terhadap rumitnya masalah ini.
"Ketika impor singkong disetop, secara otomatis harganya akan naik. Pabrik juga tidak rugi karena perputaran singkong hanya dari dalam negeri. Kita mau ada kemitraan antara pemerintah, pengusaha, dan petani untuk mengatasi harga singkong dalam jangka panjang," tuturnya.
Apabila pemerintah pusat tidak segera menangani persoalan ini, terus Mikdar, dikhawatirkan para petani singkong beralih profesi.
"Ketika ini terjadi, semua akan rugi. Petani rugi, pabrik rugi. Masyarakat yang tadinya bekerja juga hilang pekerjaannya, dan dampaknya bakal berkepanjangan," ucap Mikdar.
Dia menceritakan, Lampung dahulu pernah dikenal sebagai penghasil lada dan cengkeh.
Namun, lambat laut kedua komoditas itu menghilang karena tidak ada regulasi harga yang stabil dan tidak ada kebijakan yang berpihak ke petani.
"Jangan sampai singkong juga begitu. Lampung ini menjadi wilayah produksi singkong terbesar di Indonesia. Apabila tidak segera diurai permasalahannya, saya yakin petani akan beralih profesi dan semua bakal rugi," kata dia.
"Kita berharap singkong dimasukan dalam kebutuhan ketahanan pangan dan impor singkong dihentikan. Lalu pemerintah ambil peran pendistribusian singkong melalui BUMN, BUMD dan kemitraan antara pengusaha, pemerintah, akademisi dan petani dapat berjalan," pungkasnya.