TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II kembali buka suara terkait polemik harga singkong di Lampung yang tak kunjung berakhir.
KPPU sebelumnya telah mengungkap jika tingginya impor tapioka yang dilakukan oleh empat perusahaan di Lampung jadi salah satu faktor utama penyebab anjloknya harga singkong di Provinsi Lampung.
Kepala Kantor KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan, pihaknya telah memanggil empat perusahaan tersebut, namun hanya satu yang memenuhi panggilan.
Wahyu menjelaskan, berdasarkan catatan KPPU Wilayah II, dari total 45 perusahaan tapioka di Lampung, terdapat empat perusahaan yang menguasai sekitar 80 persen impor tapioka.
Dia pun menegaskan bahwa berdasarkan penyelidikan dan analisa, KPPU menemukan ada unsur kesengajaan untuk menghancurkan harga singkong di Lampung dengan melakukan impor tapioka.
"Poinnya berdasarkan analisa kami, tujuan dari impor tapioka ini memang ada niat untuk menghancurkan harga singkong dan secara data kita bisa melihat," ujar Wahyu.
Wahyu pun mengaku jika pihaknya telah melakukan panggilan terhadap empat perusahaan penguasa pasar tapioka di Lampung, namun hanya satu yang hadir.
"Kami sudah mencoba mengundang perusahaan yang melakukan impor tapioka ini, tapi dari 4 perusahaan tiga diantaranya belum datang. Salah satu perusahaan sudah datang dengan kooperatif dan menyampaikan data kepada kami, sedangkan tiga perusahaan lainnya belum ada keterangan," katanya.
Ditanya terkait identitas perusahaan yang dimaksud, Wahyu enggan membeberkan.
"Kami memegang asas kerahasiaan, sehingga kami tidak bisa mengumumkan. Tapi rasanya rakyat Lampung bisa mengetahui kalau mencari di internet," imbuhnya.
Lebih lanjut Wahyu mengatakan, jika tiga perusahaan tetap mangkir dari panggilan yang dilayangkan, maka KPPU akan melakukan proses penegakan hukum.
"Kalau tiga perusahaan itu tetap menolak untuk datang memberikan konfirmasi, maka akan kami naikkan tahapnya ke proses penegakan hukum. Jadi kan didalami terkait tujuan impor tapioka ini dilakukan oleh penguasa pasar untuk menghancurkan harga singkong," jelasnya.
Terkait sanksi, Wahyu menyebut jika perusahaan yang terbukti bersalah dan melakukan pelanggaran dapat dicabut izin usahanya.
"Kalau memang terbukti, biasanya sanksi yang diterapkan berupa administrasi, bisa dalam bentuk denda atau yang paling berat dicabut izinnya. Kalau untuk pencabutan izin ini sepertinya belum pernah terjadi karena KPPU tujuannya bukan untuk menghancurkan dunia usaha, sehingga lebih sering diterapkan sanksi denda," tambahnya.
Perjanjian Kemitraan
Wahyu pun mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah perlu adanya perjanjian kemitraan antara petani dengan produsen tapioka.
Menurutnya, ini merupakan langkah yang paling efektif untuk menyelesaikan polemik singkong jangka panjang di Lampung.
Ia mengatakan, usulan kemitraan tersebut telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Lampung serta Panitia Khusus (Pansus) Tata niaga singkong DPRD Lampung.
"Untuk usulan penyelesaian masalah, perbaikan tataniaga ubi kayu di Provinsi Lampung dapat dilakukan melalui perjanjian kemitraan antara petani dengan produsen tapioka," imbuhnya.
Menurut Wahyu, solusi ini dinilai akan memberikan manfaat serta dampak positif baik bagi petani singkong maupun perusahaan.
"Manfaatnya, produsen dapat memperoleh Ubi Kayu dengan kualitas yang sesuai dengan standar yang diharapkan. Kemudian, terdapat kepastian suplai bahan baku sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pabrik," imbuhnya.
Dari sisi petani, Wahyu menyebut perjanjian kemitraan juga dapat menjamin kepastian harga dan pembeli.
"Petani memiliki kepastian konsumen atau buyer (pembeli) produk ubi kayu yang dihasilkan Petani memiliki kepastian harga jual ubi kayu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan, KPPU memiliki kewenangan dalam pengawasan kemitraan sesuai amanat Undang-Undang No 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
"Melalui perjanjian kemitraan antara petani dengan produsen tapioka, KPPU memiliki kewenangan absolut dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara produsen dan petani ubi kayu di Lampung," tutur Wahyu.
Ngadu ke DPR RI
Sejumlah pabrik tapioka di Lampung belum beroprasi sepenuhnya pascapenetapan harga yang disepakati pengusaha, petani, dan instansi terkait bersama Menteri Pertanian RI beberapa waktu lalu.
Menindaklanjuti itu Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tataniaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas dan anggota melakukan kunjungan kerja ke Komisi IV DPR RI dan Kementerian Perdagangan RI untuk menyampaikan permasalahan tersebut.
Mikdar mengatakan, kunjungan bertujuan mencari solusi atas anjloknya harga singkong serta dampak impor yang mempengaruhi kesejahteraan petani.
"Alhamdulillah kunjungan kami disambut baik anggota Komisi IV DPR RI dan anggota DPR RI dari Dapil Lampung. Kami disambut ibu Dwita Ria Gunadi, Irham Djafar, Hanan Razak, dan sejumlah anggota DPR RI dari beberapa dapil di luar Provinsi Lampung," kata Mikdar, Rabu (5/2/2025).
Dalam kesempatan itu lanjut Mikdar, pihaknya menjelaskan hasil kerja dan temuan pansus terkait polemik yang terjadi antara petani dan perusahaan pengolahan singkong di Lampung.
"Semua hasil kerja kami selama ini sudah disampaikan. Intinya, petani menginginkan harga yang layak. Namun keputusan yang sudah dikeluarkan Kementerian Pertanian dan Pj Gubernur Lampung tidak bisa dijalankan perusahaan, bahkan hingga saat ini beberapa perusahan belum beroprasi," ujarnya.
Mikdar menekankan, perlunya regulasi yang lebih kuat dari DPR RI agar keputusan pemerintah dapat diimplementasikan secara efektif.
"Kami mendorong Komisi IV untuk membuat regulasi yang mengikat. Sehingga pabrik tetap bisa beroperasi, tetapi petani juga mendapatkan harga yang adil," tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar regulasi tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres), sehingga memiliki sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankannya.
"Selain itu, Pansus juga meminta dukungan Komisi IV DPR RI dalam penyaluran bantuan kepada petanisingkong, seperti pupuk subsidi, bibit unggul, dan alat berat. Alhamdulillah akan diperjuangkan," kata anggota Fraksi Gerindra itu.
Setelah pertemuan dengan DPR RI, Mikdar mengaku Pansus Tataniaga Singkong melanjutkan kunjungan ke Kementerian Perdagangan RI.
Dalam pertemuan tersebut, Mikdar menyoroti bahwa salah satu penyebab turunnya hargasingkongadalah imporsingkongdalam jumlah besar.
"Kami sampaikan kepada Kementerian Perdagangan bahwa impor yang berlebihan menghancurkan hargasingkonglokal. Kami meminta agar pemerintah mendata dengan jelas kebutuhan impor, sehingga impor hanya dilakukan jika produksi dalam negeri benar-benar tidak mencukupi," jelasnya.
Menurut Mikdar, koordinasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sangat diperlukan agar kebijakan impor tidak merugikan petani lokal.
Ia juga mengusulkan agar imporsingkong jika diperlukan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bulog, bukan perusahaan pengolahansingkongmenjadi tapioka.
"Kami berharap impor dilakukan oleh sektor yang tidak berkaitan langsung dengan produksi tapioka, misalnya perusahaan kertas atau industri lain yang membutuhkan singkong. Sehingga industri dalam negeri tetap berjalan dan petani tetap mendapatkan harga yang layak," tegas Mikdar.
Menurutnya, kunjungan ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak kepada petanisingkongdan menciptakan stabilitas harga yang lebih baik di pasar.
Terkait langkah lanjutan Pansus, menurutnya minggu depan akan memanggil sejumlah pengusaha pemilik perusahaan Tapioka untuk rapat dengar pendapat.
"Rencanya Rabu pekan depan, kami akan bahas pembinaansingkongjangka pendek, menengah hingga jangka panjang," pungkasnya.
(TRIBUNLAMPUNG.CO.ID/hurri agusto/riyo pratama)