TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Lampung Selatan - Ternyata ada jual beli di lahan yang ditertibkan Pemprov Lampung di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan.
Adanya jual beli tersebut diakui sejumlah warga yang rumahnya digusur gegara dinilai berdiri di lahan milik Pemprov Lampung.
Salah satu warga yang namanya enggan disebutkan mengungkap dirinya menempati lahan tersebut dengan membeli dari lurah.
Dia mengaku sudah 25 tahun tinggal di lahan Desa Sabah Balau. "Awalnya beli sama Pak Lurah. Dulu kami beli cuma Rp 3,5 juta," ungkapnya, Rabu (12/2/2025)
Terkait adanya jual beli lahan itu juga diungkap Agustami, yang mengaku tinggal di lahan Sabah Balau sejak 2017.
Nurawi, warga lainnya, mengaku baru tinggal di lahan tersebut.
Tapi, menurut dia, sudah ada yang sampai 35 tahun bermukim di lahan Sabah Balau.
Nurawi awalnya tidak tahu jika tanah tersebut bermasalah.
"Karena awalnya kita beli, di sini suratnya ada. Kita bangun rumah di sini pake duit, bukannya gratis," katanya.
Sudah Dialog
Warga mengaku sudah ada dialog terkait status lahas Sabah Balau, Lampung Selatan.
Namun dialog dinilai tidak mengakomodir aspirasi masyarakat yang bermukim lahan Sabah Balau.
Sebab warga tidak mendapat kompensasi dari penertiban lahan Pemprov itu.
"Kami sudah melakukan beberapa dialog menyampaikan aspirasi dari masyarakat di posko terpadu. Namun, dari pihak Pemprov tidak ada penggantian bangunan," ujar Agustami.
Adapun pemberian dari Pemprov Lampung, nilainya tidak sebanding.
Warga lainnya, Nurawi mengaku mendapatkan uang dari Pemprov Lampung. Namun, jumlahnya tidak sebanding dengan kerugian yang dialami.
"Ada sih ganti ruginya Rp 2,5 juta. Tapi menurut saya itu penghinaan. Apa itu katanya kerohiman," tuturnya.
Nurawi mengatakan bahwa nilai yang diberikan pemerintah tidak sebanding dengan uang yang sudah dikeluarkan untuk membangun rumah.
Alhasil kini warga tidak punya tempat tinggal lagi setelah digusur.
Hal tersebut juga dirasakan Isnaini yang bingung cari tempat tinggal setelah rumahnya digusur.
"Saat ini masih bingung belum ada rencana mau tinggal di mana. Saya tidak mengambil uang kompensasi yang diberikan Pemprov Lampung," ujarnya.
Mayoritar warga menolak uang dari Pemprov Lampung yang dinilai tidak sebanding.
Warga lainnya, Jamal menyebut hanya empat warga yang menerima uang Rp 2,5 juta untuk mengosongkan rumahnya.
Sementara 56 warga lain menolak tawaran tersebut.
Atas kekecewaan itu warga berharap bisa bertemu Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pemprov Pastikan Tak Ada Ganti Rugi
Pemprov Lampung memastikan tidak ada ganti rugi dalam penertiban lahan di Sabah Balau, Lampung Selatan.
Kepastian tidak adanya ganti rugi tersebut disampaikan Kuasa Hukum Pemprov Lampung, Sujarwo, Rabu (12/2/2025).
Menurut Sujarwo, warga yang mendiami lahan Pemprov Lampung di Sabah Balau tersebut tidak mempunyai legal standing untuk mendirikan bangunan.
Sujarwo menegaskan, apa yang dilakukan Pemprov Lampung bukan sebagai tindakan eksekusi. Melainkan penertiban kembali.
"Kami sebagai kuasa hukum mengembalikan siapa yang berhak mengelola memanfaatkan lahan ini," kata Sujarwo, Rabu.
Sujarwo juga menegaskan, tidak ada ganti rugi yang diberikan kepada warga yang menempati lahan Pemprov Lampung itu.
"Dari BPKAD memberikan santunan apabila mereka sukarela meninggalkan tempat yang mereka diami selama ini. Nilainya Rp 2,5 juta," ujarnya.
Pemprov Lampung mengklaim, sebelum penertiban itu dilakukan sudah melaksanakan sosialisasi ke warga yang menempati aset lahan milik pemerintah itu.
Penertiban aset lahan yang ada di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan tersebut dilaksanakan Rabu (12/2/2025).
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Lampung, Marindo Kurniawan mengungkap asal usul lahan tersebut.
Lahan yang ditertibkan itu, menurut dia, aset pemerintah yang diperoleh dari PTP X.
Aset lahannya telah bersertifikat resmi sejak diterbitkan oleh Kantor ATR/BPN Lampung Selatan dan Bandar Lampung.
Pemprov mengklaim telah melakukan sosialisasi kepada warga yang mendiami lahan tersebut sejak 2012, saat jumlah bangunan masih sedikit.
Namun, seiring waktu, pemukiman semakin padat tanpa dokumen kepemilikan yang sah.
"Kalau semua asetnya bisa ditempati oleh orang, besok-besok yang lain duduk di situ membangun rumah."
"Maka sebagai pengelola negara, kami diawasi oleh MCP KPK, untuk memastikan aset Pemprov Lampung berada di tangan yang tepat," kata Marindo.
Marindo menyampaikan, jika di lahan itu nantinya akan digunakan untuk wilayah pertanian, perkebunan.
"Kemudian kami juga ada aset yang akan digunakan untuk instansi vertikal mungkin bisa di sana," sebut Marindo.
Adapun total luasan lahan, ucap Marindo, yakni mencapai 65 hektare. Sementara yang ditertibkan pada Rabu (12/2/2025) seluas 6-7 hektare.
Perlu Pertimbangkan Aspek Kemanusiaan
Pemprov Lampung perlu mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam penertiban aset lahan yang ada di Desa Sabah Balau, Lampung Selatan.
Penilaian tersebut disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Lampung (Unila), Sigit Krisbintoro.
Diketahui, puluhan rumah warga di Desa Sabah Balau, Lampung Selatan ditertibkan lantaran diklaim menempati aset lahan milik Pemprov Lampung, Rabu (12/2/2025).
Penertiban ini melibatkan ratusan personel kepolisian maupun Satpol PP berseragam lengkap dengan tameng anti huru-hara untuk melakukan pengamanan.
Sedikitnya, terdapat 46 rumah yang menempati lahan milik aset Pemerintah Provinsi Lampung yang ditertibkan.
Penertiban sendiri sempat diwarnai kericuhan, di mana terjadi aksi saling dorong antara warga yang tak terima rumahnya dirobohkan
Sigit Krisbintoro pun menyoroti beberapa hal terkait langkah Pemprov Lampung melakukan penertiban ini.
"Hal ini bisa dikaji dari berbagai aspek. Pertama, apakah pemprov punya legal standing, artinya apakah aset itu sudah terdaftar sebagai aset Pemprov dan bersertifikat," ujar Sigit saat dikonfirmasi, Rabu (12/2/2025).
"Kedua, berapa lama masyarakat menempati aset tersebut, apakah mereka membayar pajak," kata dia.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unila ini pun menyoroti penggunaan dan pemanfaatan tanah aset tersebut oleh masyarakat selama ini.
"Selama ini apa ada pengawasan dari pemprov, mengapa ada pembiaran aset pemprov digunakan dan dimanfaatkan masyarakat," kata dia.
Di samping itu, Sigit menilai penyelenggaran pemerintahan perlu dipertimbangkan yaitu aspek kemanusiaan, dan kondisi riil masyarakat pengguna dan pemanfaatan aset tersebut.
"Jalan keluar terbaik masalah ini adalah diperlukan musyawarah, kedua belah pihak dipertemukan kembali dan ada mediasi yang melibatkan kepala desa, tokoh masyarakat dan agama agar tercipta win win solution, bagaimana penggunaan dan pemanfaatan tanah bisa menguntungkan kedua belah pihak," ujarnya.
"Solusi terbaik yang lain adalah, jika terjadi kesepakatan bersama, maka perlu adanya redistribusi tanah aset tersebut atau ada konsolidasi aset tanah tersebut," imbuhnya.
Sigit menjelaskan, Konsolidasi tanah yag dimaksud adalah kebijakan pertanahan yang mengatur ulang penguasaan, penggunaan, pemanfaatan tanah dan pemilikan tanah
"Tujuannya untuk melestarikan lingkungan dan menjaga sumber daya alam sekitar dalam rangka mendukung pembangunan di Provinsi Lampung," pungkasnya.
(Tribunlampung.co.id/Dominius Desmantri Barus)