Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Polemik harga singkong yang anjlok di Lampung masih terus berlanjut hingga saat ini. Terbaru, banyak pabrik tapioka tutup karena keberatan soal harga.
Diketahui, sejumlah pabrik tapioka merasa keberatan dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah yakni sebesar Rp 1.350 per kilogram. Alhasil, sejumlah pabrik tapioka di Lampung pun enggan membeli singkong dari petani lokal.
Merespons terkait harga singkong tersebut, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal mengaku siap mencari solusi terkait banyaknya pabrik tapioka yang tutup.
Ia mengaku akan berkomunikasi lebih lanjut dengan pemerintah pusat.
"Masalah (harga) singkong di Lampung sudah menjadi wewenang pusat. Persoalan yang ada, pabrik merasa rugi dengan ketetapan harga yang disepakati. Sedangkan petani harus menjual hasil panennya," kata Mirza saat diwawancarai, Kamis (6/3/2025).
“Saya telah eskalasikan bersama Kementerian Pertanian dan pemerintah pusat agar segera mencari solusi dari masalah ini,” tambahnya.
Terpisah, Ketua Komisi II DPRD Lampung Ahmad Basuki menyampaikan, pihaknya sudah mengusulkan perpanjangan masa tugas Pansus Tata Niaga Singkong.
"Pansus diperpanjang hingga 15 Maret 2025. Persoalan singkong di Lampung belum sepenuhnya selesai. Tentunya kami dari komisi II juga berharap pemerintah pusat segera turun membantu mengurai persoalan ini," kata Abas, sapaan akrabnya.
Abas menambahkan, dengan diperpanjangnya masa kerja pansus diharapkan dapat mencarikan solusi terbaik terkait harga, regulasi, dan aturan lainnya.
"Kita ingin hasil pansus ini benar-benar aplikatif, sehingga pabrik tetap untung dan petani sejahtera," pungkasnya.
Dalam dua bulan terakhir, tidak sedikit pabrik tapioka di Lampung yang tutup. Mirisnya lagi, penutupan pabrik dilakukan menjelang Lebaran.
Hal itu disampaikan Ketua Pansus Tata Niaga Singkong DPRD Lampung Mikdar Ilyas.
Menurut dia, sejauh ini kondisi belum stabil. Banyak perusahaan yang tutup, dan petani bingung harus menjual singkong ke mana.
“Di lapangan, sejumlah pabrik singkong di Lampung justru buka-tutup. Kadang buka, kadang tutup. Sementara itu, setelah dipanen, singkong tidak bisa dibiarkan terlalu lama karena pasti akan rusak. Jadi, kondisinya belum stabil,” kata Mikdar dalam wawancara eksklusif bersama Tribun Lampung, Selasa (4/3/2025).
Mikdar juga menjelaskan penyebab pabrik tidak konsisten menjalankan instruksi Menteri Pertanian terkait harga Rp1.350 per kg dengan potongan berdasarkan kadar aci.
Mikdar menuturkan, sesuai pengakuan pengusaha, dengan harga kesepakatan itu mereka tidak mendapat keuntungan. Apalagi, saat ini musim hujan sehingga kadar aci menurun.
Namun, hasil penelusuran di lapangan menunjukkan alasan lain. Mereka tidak mau membeli hasil panen petani karena impor tapioka masih berlangsung hingga saat ini.
“Barang impor kualitasnya lebih bagus dan harganya lebih murah, sehingga kemungkinan besar para pengusaha lebih memilih tapioka impor,” ucap Mikdar.
KPPU Sebut Pabrik Tapioka di Lampung Sengaja Impor untuk Hancurkan Harga Singkong
Diberitakan sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah II mengeluarkan analisa terbaru terkait polemik mengenai harga singkong yang anjlok di Lampung.
Satu di antara analisa yang dilakukan KPPU tersebut yakni perusahaan tapioka terindikasi sengaja ingin menghancurkan harga singkong di Lampung dengan melakukan impor.
Analisa KPPU tersebut disampaikan Kepala Kantor KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro.
Sebelumnya, Wahyu mengatakan, pihaknya telah memanggil 4 perusahaan tapioka di Lampung, namun hanya satu yang memenuhi panggilan.
Wahyu menjelaskan, berdasarkan catatan KPPU Wilayah II, dari total 45 perusahaan tapioka di Lampung, terdapat 4 perusahaan yang menguasai sekitar 80 persen impor tapioka.
Dia pun menegaskan bahwa berdasarkan penyelidikan dan analisa, KPPU menemukan ada unsur kesengajaan untuk menghancurkan harga singkong di Lampung dengan melakukan impor tapioka.
"Poinnya, berdasarkan analisa kami, tujuan dari impor tapioka ini memang ada niat untuk menghancurkan harga singkong, dan secara data kita bisa melihat," ujar Wahyu.
Wahyu pun mengaku jika pihaknya telah melakukan panggilan terhadap empat perusahaan penguasa pasar tapioka di Lampung, namun hanya satu yang hadir.
"Kami sudah mencoba mengundang perusahaan yang melakukan impor tapioka ini, tapi dari 4 perusahaan tiga diantaranya belum datang," imbuhnya.
"Satu di antara perusahaan sudah datang dengan kooperatif dan menyampaikan data kepada kami, sedangkan tiga perusahaan lainnya belum ada keterangan."
Ditanya terkait identitas perusahaan yang dimaksud, Wahyu enggan membeberkan.
"Kami memegang asas kerahasiaan, sehingga kami tidak bisa mengumumkan tapi rasanya rakyat Lampung bisa mengetahui kalau mencari di internet," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu mengatakan jika tiga perusahaan tetap mangkir dari panggilan yang dilayangkan, maka KPPU akan melakukan proses penegakan hukum.
"Kalau 3 perusahaan itu tetap menolak untuk datang memberikan konfirmasi, maka akan kami naikkan tahapnya ke proses penegakan hukum," kata dia.
"Jadi kan didalami terkait tujuan impor tapioka ini dilakukan oleh penguasa pasar untuk menghancurkan harga singkong," jelasnya.
Terkait sanksi, Wahyu menyebut jika perusahaan yang terbukti bersalah dan melakukan pelanggaran dapat dicabut izin usahanya.
"Kalau memang terbukti, biasanya sanksi yang diterapkan berupa administrasi, bisa dalam bentuk denda, atau yang paling berat dicabut izinnya" kata Wahyu.
"Kalau untuk pencabutan izin ini sepertinya belum pernah terjadi karena KPPU tujuannya bukan untuk menghancurkan dunia usaha, sehingga lebih sering diterapkan sanksi denda," pungkasnya.
Perjanjian Kemitraan
Di sisi lain, KPPU mengusulkan solusi terkait harga singkong di Lampung.
KPPU menilai perjanjian kemitraan antara petani dengan produsen tapioka merupakan langkah yang paling efektif untuk menyelesaikan polemik singkong jangka panjang di Lampung.
Kepala Kantor KPPU Wilayah II, Wahyu Bekti Anggoro mengatakan, usulan kemitraan tersebut telah disampaikan ke Pemerintah Provinsi Lampung serta Panitia Khusus (Pansus) Tata niaga singkong DPRD Lampung.
"Untuk usulan penyelesaian masalah, perbaikan tataniaga ubi kayu di Provinsi Lampung dapat dilakukan melalui perjanjian kemitraan," ujar Wahyu saat memberi keterangan kepada awak media, Kamis (6/2/1025).
Menurut Wahyu, solusi ini dinilai akan memberikan manfaat serta dampak positif baik bagi petani singkong maupun perusahaan.
"Manfaatnya, produsen dapat memperoleh Ubi Kayu dengan kualitas yang sesuai dengan standar yang diharapkan," kata dia
"Kemudian, terdapat kepastian suplai bahan baku sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pabrik," imbuhnya.
Dari sisi petani, Wahyu menyebut perjanjian kemitraan ini juga dapat menjamin kepastian harga dan pembeli.
"Petani memiliki kepastian konsumen atau buyer (pembeli) produk ubi kayu yang dihasilkan Petani memiliki kepastian harga jual ubi kayu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa KPPU memiliki kewenangan dalam Pengawasan Kemitraan sesuai amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
"Melalui perjanjian kemitraan antara Petani dengan Produsen Tapioka, KPPU memiliki kewenangan absolut dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan yang terjalin antara Produsen dan Petani Ubi Kayu di Lampung," pungkasnya.
Ngadu ke DPR RI
Diberitakan sebelumnya, sejumlah pabrik tapioka di Lampung belum beroprasi sepenuhnya pascapenetapan harga yang disepakati pengusaha, petani, dan instansi terkait bersama Menteri Pertanian RI beberapa waktu lalu.
Menindaklanjuti itu Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tataniaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas dan anggota melakukan kunjungan kerja ke Komisi IV DPR RI dan Kementerian Perdagangan RI untuk menyampaikan permasalahan tersebut.
Mikdar mengatakan, kunjungan bertujuan mencari solusi atas anjloknya harga singkong serta dampak impor yang mempengaruhi kesejahteraan petani.
"Alhamdulillah kunjungan kami disambut baik anggota Komisi IV DPR RI dan anggota DPR RI dari Dapil Lampung. Kami disambut ibu Dwita Ria Gunadi, Irham Djafar, Hanan Razak, dan sejumlah anggota DPR RI dari beberapa dapil di luar Provinsi Lampung," kata Mikdar, Rabu (5/2/2025).
Dalam kesempatan itu lanjut Mikdar, pihaknya menjelaskan hasil kerja dan temuan pansus terkait polemik yang terjadi antara petani dan perusahaan pengolahan singkong di Lampung.
"Semua hasil kerja kami selama ini sudah disampaikan. Intinya, petani menginginkan harga yang layak. Namun keputusan yang sudah dikeluarkan Kementerian Pertanian dan Pj Gubernur Lampung tidak bisa dijalankan perusahaan, bahkan hingga saat ini beberapa perusahan belum beroprasi," ujarnya.
Mikdar menekankan, perlunya regulasi yang lebih kuat dari DPR RI agar keputusan pemerintah dapat diimplementasikan secara efektif.
"Kami mendorong Komisi IV untuk membuat regulasi yang mengikat. Sehingga pabrik tetap bisa beroperasi, tetapi petani juga mendapatkan harga yang adil," tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar regulasi tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres), sehingga memiliki sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankannya.
"Selain itu, Pansus juga meminta dukungan Komisi IV DPR RI dalam penyaluran bantuan kepada petani singkong, seperti pupuk subsidi, bibit unggul, dan alat berat. Alhamdulillah akan diperjuangkan," kata anggota Fraksi Gerindra itu.
Setelah pertemuan dengan DPR RI, Mikdar mengaku Pansus Tataniaga Singkong melanjutkan kunjungan ke Kementerian Perdagangan RI.
Dalam pertemuan tersebut, Mikdar menyoroti bahwa salah satu penyebab turunnya hargasingkongadalah imporsingkongdalam jumlah besar.
"Kami sampaikan kepada Kementerian Perdagangan bahwa impor yang berlebihan menghancurkan harga singkong lokal."
"Kami meminta agar pemerintah mendata dengan jelas kebutuhan impor, sehingga impor hanya dilakukan jika produksi dalam negeri benar-benar tidak mencukupi," jelasnya.
Menurut Mikdar, koordinasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian sangat diperlukan agar kebijakan impor tidak merugikan petani lokal.
Ia juga mengusulkan agar impor singkong jika diperlukan dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bulog, bukan perusahaan pengolahan singkong menjadi tapioka.
"Kami berharap impor dilakukan oleh sektor yang tidak berkaitan langsung dengan produksi tapioka, misalnya perusahaan kertas atau industri lain yang membutuhkan singkong. Sehingga industri dalam negeri tetap berjalan dan petani tetap mendapatkan harga yang layak," tegas Mikdar.
Menurutnya, kunjungan ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang lebih berpihak kepada petani singkong dan menciptakan stabilitas harga yang lebih baik di pasar.
Terkait langkah lanjutan Pansus, menurutnya minggu depan akan memanggil sejumlah pengusaha pemilik perusahaan tapioka untuk rapat dengar pendapat.
"Rencanya Rabu pekan depan, kami akan bahas pembinaansingkongjangka pendek, menengah hingga jangka panjang," pungkasnya.
( Tribunlampung.co.id / Hurri Agusto / Riyo Pratama )