Rakit yang biasa ditinggali selama lima hingga enam bulan itu kini tak lagi bisa diandalkan untuk berkomunikasi atau mencari pertolongan.
Dengan bekal seadanya seperti beras, gas untuk memasak dan alat masak, Lukman bertahan selama lebih dari sebulan.
Ia mengandalkan bubur sebagai makanan pokok, dimakan pagi hingga malam.
Setelah persediaan habis, ia mulai menangkap ikan dengan alat sederhana.
Namun hasil tangkapan tidak selalu menguntungkan.
Seringkali, ia harus menahan lapar hingga lima hari lamanya tanpa makanan.
“Bahkan lima hari siang malam saya tidak makan apa-apa,” katanya lirih.
Ketika kayu bakar dari rangka rakit mulai habis, ia terpaksa memakan ikan mentah.
Itu pun jika berhasil menangkap. Jika tidak, ia hanya bisa menangis dan berdoa.
Tak hanya soal makanan, badai dan ombak besar juga menjadi tantangan.
Rakitnya kerap diterjang gelombang tinggi yang mengancam keselamatan.
Di tengah ancaman maut, ia hanya bisa berpasrah pada Tuhan.
Dalam kesendirian dan keputusasaan, Lukman tetap teguh berdoa.
Bahkan saat merasa doanya tak terkabul, ia tetap mengadu kepada Sang Pencipta, walau sempat merasa Tuhan tidak adil.
“Saya berdoa, ‘Ya Allah, jemputlah saya. Sudah tidak mampu lagi," kata Lukman dengan wajah mulai memerah.