Berita Terkini Nasional
Istilah Nonaktif Tidak Diatur UU MD3, Parpol Didesak PAW Anggota DPR Bikin Gaduh
Langkah sejumlah partai politik yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI dapat sorotan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
Tribunlampung.co.id, JAKARTA - Langkah sejumlah partai politik yang hanya menonaktifkan kadernya di DPR RI dapat sorotan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Adapun penonaktifan itu merupakan buntut dari kontroversi pernyataan yang dianggap menjadi penyebab unjuk rasa disoroi belakangan ini.
Sejumlah partai yang mengambil langkah itu adalah NasDem terhadap Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, lalu PAN yang menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, serta Golkar yang juga mengambil langkah serupa untuk Adies Kadir.
Lalu, ada juga Anggota Fraksi PDI-Perjuangan Deddy Sitorus yang belum menerima sanksi dari partai.
Ketua Formappi, Lucius Karus menilai,keputusan melakukan penonaktifan terkesan setengah hati karena tidak menyentuh akar persoalan.
“Keputusan partai-partai itu tentu saja baik sebagai respons atas tuntutan publik yang mengkritik pernyataan dan sikap tidak pantas sejumlah anggota DPR itu terkait tunjangan DPR,” kata Lucius kepada wartawan.
Namun, Lucius menekankan istilah nonaktif yang dipakai partai justru menimbulkan masalah baru.
Pasalnya, kata dia, dalam Undang-Undang MD3 tidak dikenal istilah penonaktifan anggota DPR.
“Istilah nonaktif ini bukan kata yang dipakai UU MD3 untuk menyebutkan alasan yang bisa digunakan DPR untuk memproses penggantian anggota DPR (PAW),” ujarnya.
Ia menjelaskan, UU MD3 hanya mengatur tiga alasan seorang anggota DPR bisa diberhentikan, yakni meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Karena itu, penonaktifan tak bisa dibaca sebagai sanksi resmi partai terhadap kadernya.
“Nampaknya partai tak cukup berani untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan kader-kader mereka, yang memicu kemarahan publik,” tegas Lucius.
Menurut dia, pilihan kata nonaktif justru menggambarkan kegamangan parpol untuk mengambil sikap tegas.
Ia menilai langkah itu lebih sebagai strategi menenangkan publik sementara, sembari menunggu situasi mereda.
“Oleh karena itu, keputusan parpol atas Eko, Sahroni Cs lebih nampak sebagai strategi untuk menenangkan publik sementara waktu sembari melihat perkembangan selanjutnya untuk memastikan sanksi terhadap kader-kader mereka,” ujar Lucius.
Masalahnya, lanjut Lucius, dengan status nonaktif itu, anggota DPR bersangkutan tetap berhak menerima gaji dan tunjangan meski tidak bekerja menjalankan fungsi legislatif.
Hal ini dikhawatirkan justru memunculkan kemarahan publik gelombang kedua.
“Ketika partai membuat keputusan yang ragu-ragu dengan menggunakan istilah non aktif, maka tunjangan yang jadi akar masalah munculnya aksi massa, masih akan diterima oleh kader-kader non aktif ini,” ucapnya.
Karena itu, Formappi mendesak partai politik mengambil langkah tegas dengan melakukan pemberhentian antar waktu (PAW) terhadap kader yang sudah menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
“Harusnya partai tegas saja sih agar tak ada lagi diskusi setelah ini yang memungkinkan situasi menjadi tidak kondusif lagi,” kata Lucius.
Ia juga mengingatkan, penggunaan istilah nonaktif bisa saja hanya jadi jeda waktu untuk mengembalikan kader bermasalah itu ketika situasi sudah tenang.
“Kalau parpol nggak merasa bersalah dengan apa yang dilakukan kadernya, ya maka istilah non aktif ini bisa jadi hanya berarti jeda waktu untuk menenangkan massa di satu sisi, dan di sisi lain untuk mempersiapkan kembalinya kader-kader itu jika publik sudah tenang kembali,” pungkas Lucius.(tribun network)
Tindak Tegas Deddy Sitorus
Sejumlah anggota DPR RI dinonaktifkan oleh partai masing-masing lantaran dinilai telah menunjukkan sikap arogan atau melontarkan pernyataan yang dinilai tidak empati terhadap masyarakat.
Pada Minggu (31/8) kemarin, total ada lima anggota DPR RI yang resmi dinonaktifkan oleh partainya, di antaranya Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (Nasdem), Uya Kuya dan Eko Patrio (PAN), dan Adies Kadir (Golkar).
Setelah lima tokoh ini, sorotan publik bergeser ke Partai Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sebab, salah satu kadernya, Deddy Sitorus, juga sempat menuai kontroversi dengan pernyataannya yang dinilai menyakitkan.
Pernyataan Deddy Sitorus saat menjadi tamu di acara “Kontroversi” di Metro TV pada Desember 2024 kembali viral pada Agustus 2025 ini.
Terkait pernyataan kontroversialnya, publik pun kini mendesak agar PDIP mengambil langkah tegas dalam menindak Deddy Sitorus, minimal mengikuti langkah-langkah Partai Nasdem, Partai Golkar, dan PAN dengan menonaktifkan anggotanya dari kursi DPR RI.
Di media sosial X (dulu Twitter), muncul pertanyaan mengapa PDIP belum mengambil langkah apa pun terkait Deddy Sitorus.
Bahkan, PDIP dinilai seolah-olah masih 'melindungi' kadernya yang bernama lengkap Deddy Yevri Hanteru Sitorus dan lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara 17 November 1970 itu.
Jika PDIP berani mengambil tindakan tegas terhadap Deddy Sitorus, maka itu berarti bahwa partai berlambang banteng hitam dengan moncong putih ini benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat.
( Tribunlampung.co.id / Tribunnews.com )
Tribunlampung.co.id
Berita Nasional
anggota DPR
UU MD3
PAW
Nonaktif
Uya Kuya
Ahmad Sahroni
Eko Patrio
Adies Kadir
partai politik
Demi Gaya Hidup Hedon, Robby Gelapkan Uang Perusahaan Rp 661 Juta |
![]() |
---|
Tewas di Kebun Tebu, Ponimah Ternyata Dibunuh Suami Sirinya |
![]() |
---|
Setelah Bunuh Dina Oktaviani, Heryanto Gasak Perhiasan Korban untuk Dijual |
![]() |
---|
Bocah Perempuan Tewas Dibunuh Tetangganya, Kondisi Leher Terikat |
![]() |
---|
Keluarga Sheila Arika Yakin Mahar Cek Rp 3 Miliar dari Kakek Tarman Asli |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.