Karni Ilyas: MK Menolak Bukan karena MK Setuju pada LGBT
Pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.
Penulis: Efrem Limsan Siregar | Editor: Efrem Limsan Siregar
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Isu soal LGBT dan zina yang ramai dibicarakan di media sosial akhirnya didiskusikan di Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan TV One, Selasa (19/12/2017).
Isu LGBT dan zina mencuat setelah Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kamis (14/12/2017).
Ketiga pasal inilah yang mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.
Baca: Jonghyun Seperti Sudah Ramalkan Kematiannya 9 Tahun Lalu, Ini Wawancaranya yang Buat Merinding!
Diberitakan Kompas.com, Kamis (14/12/2017), pemohon dalam gugatannya meminta pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
Terkait pasal 285, pemohon meminta MK menyatakan pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki.
Sementara pada pasal 292, pemohon meminta dihapuskannya frasa "belum dewasa", sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana.
Baca: Tak Tega Lihat Orangtua Kesusahan, Pemuda Ini Putuskan Jual Sabu
Selain itu, homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik masih belum dewasa atau sudah dewasa.
MK menilai dalil para pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangannya MK menjelaskan, pada prinsipnya permohonan pemohon meminta Mahkamah memperluas ruang lingkup karena sudah tidak sesuai dengan masyarakat.
Baca: PAN Lampung Ancam Cabut Rekomendasi untuk Arinal Djunaidi Sebagai Calon Gubernur Lampung
Sebelum memulai diskusi, Karni Ilyas yang menjadi pembawa acara menjelaskan maksud putusan MK yang menolak permohonan uji materi ketiga pasal tersebut.
Menurutnya, alasan MK menolak bukan karena MK setuju pada LGBT.
Undang-Undang (UU), katanya, tidak memberi wewenang kepada para hakim untuk merumuskan pidana atau UU.