Tan Malaka Dinilai Lebih Pantas Jadi Nama Jalan Ketimbang Soeharto
Publik diminta menolak wacana perubahan nama Jalan Medan Merdeka menjadi Jalan Soeharto.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID-Publik diminta menolak wacana perubahan nama Jalan Medan Merdeka menjadi Jalan Soeharto. Direktur Lingkar Madani Indonesia, (LIMA) Ray Rangkuti, menuturkan keinginan komite 17 untuk mengganti nama satu jalan di sekitar kawasan Medan Merdeka dengan jalan Soeharto, hanya mengorek kembali perdebatan yang tidak perlu.
"Kita layak menolak pemberian nama Soeharto pada salah satu jalan protokol di ibu kota negara," kata Ray dalam pesan singkat yang diterima Tribunnews.com, Minggu (1/9/2013).
Menurut Ray, hal itu memperlihatkan ketidakadilan sekaligus kecerobohan. Alasannya, kata Ray, bagaimanapun pemberian suatu nama jalan dengan tokoh nasional tertentu, apalagi merupakan jalan protokol dan negara, harus didahului dengan pengakuan nasional terhadap peran dan sumbangan positif besar tokoh yang bersangkutan kepada bangsa dan negara.
"Dalam posisi ini, keberadaan sang tokoh bukan saja karena terkait dengan jabatan yang pernah diembannya, tapi sekaligus bagaimana jabatan itu dikelola dan dilaksanakan dapat menjadi suri tauladan bagi generasi sesudahnya," ujarnya.
Ia pun mempertanyakan apakah masyakarakat ingin diajarkan bahwa model 32 tahun kekuasaan dan pemerintahan otoriter Soeharto adalah model yang sah bagi republik Indonesia.
"Apakah model itu tidak menyimpang dari konstitusi dan lebih dari itu bahwa penggunaan kekerasan, penahan dan penghilangan warga dengan semena-mena, membiarkan korupsi merajalela, merupakan tindakan yang diperkenankan dan pelakunya tetap saja dapat bintang perhargaan," jelasnya.
Hal lainnya, kata Ray, pemberian nama jalan Soeharto karena didasarkan atas nama rekonsiliasi, mestinya harus didasarkan prosedur-prosedur subtansial dan adil dalam pelaksanaan rekonsialiasi. Ray menuturkan, setidaknya harus dimulai ungkapan permohonan maaf dari pelaku, penggantian kerugian dalam bentuk material kepada para korban, dan pernyataan bahwa kasus dan tindakan yang sama tidak akan diulangi kembali.
"Satupun dari prosedur ini belum dilaksanakan, tiba-tiba para pelaku yang disebut oleh TAP MPR harus diadili, begitu saja dimaafkan," tuturnya.
Jika atas nama rekonsiliasi, tanya Ray, mengapa nama pejuang besar seperti Tan Malaka tak disebut-sebut akan mendapat kehormatan menjadi nama jalan di salah satu jalan besar ibu kota.
"Siapa yang meragukan peran dan sumbangan anak bangsa yang satu ini kepada cita-cita Indonesia Merdeka 100%. Satu idiom yang sekarang oleh banyak partai dipakai sebagai pemanis jargon politiknya di era reformasi ini," ujarnya.
Selain itu, orientasi tim 17 selalu melihat kepangkatan dan jabatan struktural di pemerintahan menjadi tolok ukur seseorang layak ditasbihkan namanya di jalan-jalan besar negara seperti mewarisi tradisi orde baru.
"Bahwa mereka yang punya jabatan di pemerintahan dan militerlah yang layak disebut pahlawan dan karenanya layak dikenang dan diabadikan di jalan-jalan negara," kata Ray.
Sementara, lanjutnya, kaum pergerakan, intelektual yang sekalipun menghabiskan seluruh totalitas umur dan waktu mereka untuk memerdekakan, mengarahkan dan memajukan indonesia tak layak diabadikan di jalan.
Oleh karenanya, nama seperti almarhum Nurcholish Madjid misalnya, yang hampir seluruh usianya diabdikan untuk mengarahkan dan membangun indonesia yang sesuai falsafah dan tujuan kemerdekaannya serta memiliki peran sangat besar bagi peralihan kekuasaan rezim orde baru ke reformasi dengan cara elegan, terhormat dan tanpa gejolak, mestinya layak mendapat nominasi dijadikan sebagai nama jalan di ibu kota negara.
"Hal ini sekaligus memberi pendidikan bahwa semua warga negara dengan posisi dan keahlian mereka masing-masing layak mendapat tempat monumental di republik ini, selama mereka memiliki kontribusi postif bagi kemajuan, perbaikan dan pencapaian Indonesia yang lebih baik," ungkapnya.