Satu Bumi, Berbagai Ruang untuk Kehidupan
Berbagai cara terus diuji coba dan dilakukan untuk menanggulangi permasalahan gajah liar sumatra agar tidak keluar dari kawasan Taman Nasional Way Kam
Penulis: Indra Simanjuntak | Editor: soni
Laporan Reporter Tribun Lampung Indra Simanjuntak
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, WAY KAMBAS - Berbagai cara terus diuji coba dan dilakukan untuk menanggulangi permasalahan gajah liar sumatra agar tidak keluar dari kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Namun, hingga kini intensitas konflik tidak pernah menurun.
Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia menilai dibutuhkan program yang terintegrasi, baik dari pusat hingga ke pemerintah daerah, untuk dapat meminimalisir konflik antara masyarakat dengan hewan bernama latin elephas maximus sumatranus.
Aktivis WCS Indonesia Sugiyo mengatakan, dari sisi legalitas terkait penanganan konflik satwa liar sudah cukup baik ditunjukkan pemerintah pusat. Salah satunya dengan mengeluarkan Permenhut 48/Menhut II/2008, terkait pedoman penanganan konflik satwa, yang diteruskan kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota se-Sumatra untuk membentuk satuan tugas (satgas) konflik.
"Ini kita sambut baik. Di Lampung sendiri sudah ada satgas. Baik provinsi dari SK Gubernur dan kabupaten Lampung Timur dengan membentuk tim terpadu. Bahkan tim terpadu itu sudah direvisi lagi tahun kemarin. Tim terpadu itu sudah berjalan efektif dengan melibatkan masyarakat, walau belum maksimal," imbuhnya.
Menurutnya, tidak maksimalnya tim terpadu karena tidak terintegrasi dengan satuan kerja lain. Sehingga penanggulangan konflik satwa liar hanya dititikberatkan kepada penanganan kasus (patroli, mengusir atau menggiring keluar). Belum didukung dengan pembuatan aturan terkait tata ruang kelola perbatasan kawasan.
Dijelaskannya, cara yang paling efektif dalam penanggulangan gajah liar hingga saat ini adalah dengan melakukaan patroli dan penjagaan di daerah lintasan gajah. Cara tersebut bahkan memiliki tingkat keberhasilan hingga 82 persen. Namun, hal tersebut menimbulkan masalah semangat dan partisipasi masyarakat.
"Untuk menjaga itu kan pasti ada titik jenuh. Nah, di sini kami tidak bisa memaksa masyarakat. Itulah kenapa perlu terintegrasi. Di sini tugas pemerintah. Baik melakukan pendampingan, penyuluhan, memfasilitasi pengembangan ekonomi kreatif, sampai membangun usaha ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan," bebernya.
Sugiyo mengaku, penanganan terintegrasi merupakan cara yang mungkin paling ampuh dan low cost (biaya rendah). Meski tidak dapat menghilangkan potensi konflik. Kecuali, terusnya, salah satu kelompok dihilangkan atau dipindahkan. Seperti operasi ganesha dan tata liman. Namun, hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
Karena itu, kesadaran dan kemauan semua pihak merupakan faktor utama menanggulangi konflik satwa liar. "Meminjam istilah Gandhi, bumi ini cukup untuk kita semua yang mau berbagi. Tapi tidak kepada satu orang rakus. Karena kita (manusia) dan hewan itu sama pentingnya. Satu bumi berbagi ruang," tandasnya. (dra)