Jaringan ISIS

Kepala Hasil Hukuman Penggal Diminta Wanita ISIS sebagai Maskawin

Seorang perempuan bekas staf pengadilan yang melarikan diri dari wilayah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) membeberkan sebuah kisah mengerikan

Editor: soni
kompas.com
Pejuang ISIS tengah menggelar konvoi di provinsi Raqqa di atas sebuah kendaraan lapis baja. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Seorang perempuan bekas staf pengadilan yang melarikan diri dari wilayah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) membeberkan sebuah kisah mengerikan terkait seorang hakim perempuan yang ingin menikah lagi setelah suaminya tewas di medan perang.

Kisah yang diungkap Leena ini melibatkan dua orang hakim perempuan yaitu Um Abdullah al-Said dan Roaa Um Khotaba al-Tunisi. Hakim Al-Tunisi baru saja kehilangan suaminya yang tewas di medan pertempuran dan ingin menikah kembali.

Leena, bukan nama sebenarnya, mengatakan dia pernah bekerja untuk Um Abdullah al-Said, sebagai seorang juru tulis pengadilan di kota El Mayadin, Suriah. Sepanjang pengalamannya bekerja untuk Um Abdullah, Leena menganggap perempuan itu adalah seorang hakim berhati mulia.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Um Abdullah dianggap Leena sangat bijak dan tidak sembarangan memberi hukuman. "Jika seorang terdakwa perempuan yang diadilinya adalah orang miskin maka dia hanya menjatuhkan hukuman denda yang sangat ringan," ujar Leena.

"Satu kali dia harus memberikan hukuman berupa pukulan untuk seorang perempuan. Dan dia memukul perempuan itu dengan menggunakan sebatang pensil. Jadi pukulan itu tak menyakitkan namun tetap tidak menyalahi hukum," tambah Leena.

Namun, Leena melanjutkan, ada seorang hakim perempuan lain yang berasal dari Tunisia, Roaa Um Khotaba al-Tunisi. Perempuan ini menikahi seorang prajurit ISIS asal Libya yang tewas dalam pertempuran di kota Kobani, Suriah.

Setelah kematian suaminya, pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi memerintahkan Al-Tunisi untuk menikah lagi karena dia baru berusia 30 tahun. "Dia (Al-Tunisi) betul-betul seorang monster. Dia meminta seorang emir yang ingin menikahinya untuk memenggal kepala seorang kafir sebagai maskawin," kata Leena.

Permintaan Al-Tunisi itu kemudian sampai ke telinga para petinggi ISIS termasuk sang pemimpin tertinggi Abu Bakr Al-Baghdadi yang kemudian mempertimbangkan permintaan tersebut dalam waktu yang cukup lama.

"Akhirnya dia (Al-Baghdadi) mengatakan Al-Tunisi boleh meminta seorang tahanan untuk dipenggal namun tahanan itu harus seorang perempuan. Di saat bersamaan atasan saya, hakim Um Abdullah, menghilang," papar Leena.

Um Abdullah, ujar Leena, ternyata sudah ditangkap dan ditahan karena dituduh menjadi mata-mata untuk dinas intelijen Arab Saudi. "Hakim Roaa Um Khotaba Al-Tunisi lalu meminta kepala Um Abdullah yang kemudian menjalani eksekusi hukuman mati," kata Leena.

Leena mengakui, dia pernah menjadi anggota polisi agama ISIS, Hisbah, yang bertugas menegakkan hukum agama di wilayah yang dikuasai kelompok itu.

Pasukan Hisbah ini, lanjut Leena, juga bertugas untuk melaksanakan hukuman potong tangan, pemenggalan, rajam dan melempar seseorang dari atap gedung jika mereka dinyatakan bersalah telah melanggar hukum.

"Saat saya bertanya kepada Hisbah soal kesalahan yang diperbuat Um Abdullah, mereka memerintahkan saya untuk tak banyak bertanya, demi keselamatan diri saya," tambah dia.

Kisah ini hanyalah satu dari banyak klaim yang dibuat mantan anggota perempuan polisi agama ISIS, Hisbah, yang berhasil kabur dari kelompok militan yang kini menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah itu.

Sumber: Kompas.com
Tags
ISIS
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved