Alasan Ekonomi, Ibu Ini Tuntut Polisi Bebaskan Suaminya Meski Sudah Cabuli Anaknya
Bahkan, lanjut dia, pernah juga terjadi di Pringsewu, seorang ibu memarahi anaknya karena berani melaporkan bapaknya ke polisi. Itu karena si bapak
Penulis: Robertus Didik Budiawan Cahyono | Editor: Ridwan Hardiansyah
Laporan Reporter Tribun Lampung Robertus Didik Budiawan
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, PRINGSEWU – Istri pelaku kekerasan seksual anak menuntut pihak berwajib untuk membebaskan sang suami, yang telah mencabuli putrinya. Alasannya, si istri bingung dengan kondisi ekonomi keluarga, ketika suaminya berada dalam kurungan penjara.
Kondisi tersebut diungkapkan Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Pringsewu Fauzi, saat melakukan pendampingan terhadap anak korban kekerasan seksual, beberapa waktu lalu di Gadingrejo.
“Sang ibu justru menuntut supaya suami dibebaskan. Alasannya bagaimana membayar utang kalau suaminya di penjara,” ujar Fauzi dalam sambutannya di Sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak, yang digelar Paguyuban Pringsewu Rantau (Papringan), di SMAN I Gadingrejo, Selasa (24/5/2016).
Bahkan, lanjut dia, pernah juga terjadi di Pringsewu, seorang ibu memarahi anaknya karena berani melaporkan bapaknya ke polisi. Itu karena si bapak telah melakukan perbuatan cabul, dan mengakibatkan anak tersebut hamil.
Fauzi menuturkan, ia hanya ingin mengungkapkan betapa ironisnya kondisi kekerasan seksual anak. Di mana, kepedulian ibu terhadap anak kandungnya sendiri telah menipis. Sementara, ibu lebih membela pelaku hanya karena alasan ekonomi semata.
“Fenomena inilah yang terjadi,” kata Fauzi.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menegaskan, sejak 2013, Komnas Perlindungan Anak telah menyatakan Indonesia berada dalam status darurat kejahatan seksual terhadap anak. Kondisi itu dikuatkan dengan fakta dan data pengaduan kekerasan anak yang mereka terima.
Jumlah pengaduan pelanggaran hak anak terus meningkat dan meluas.
"21.689.797 kasus pelanggaran hak anak yang dimonitor Komnas Perlindungan Anak dari berbagai lembaga peduli anak di 34 provinsi, dan di 279 kabupaten/kota," ungkapnya.
Lebih rinci, dia mengatakan bahwa 58 persen, atau 12,58 juta anak dari pelanggaran hak anak tersebut, merupakan kejahatan seksual. Selebihnya, 42 persen adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, dan perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, serta kasus-kasus perebutan anak.