Majelis Hakim Nilai Albar Tidak Terbukti Melawan Hukum, Tapi . . .

majelis hakim menyatakan mantan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Lampung Albar Hasan Tanjung, tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi

Penulis: wakos reza gautama | Editor: soni

Laporan Wartawan Tribun Lampung Wakos Gautama

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Di dalam putusannya, majelis hakim menyatakan mantan Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Lampung Albar Hasan Tanjung, tidak terbukti melakukan perbuatan korupsi sebagaimana di dalam dakwaan primair penuntut umum.

Di dalam dakwaan primair, penuntut umum mendakwa Albar dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut majelis hakim, unsur perbuatan melawan hukum di dalam dakwaan tersebut tidak terbukti. Majelis hakim menganggap apa yang dilakukan Albar sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) hanyalah penyalahgunaan wewenang bukan perbuatan melawan hukum.

Majelis hakim menganggap, perbuatan Albar terbukti pada dakwaan subsidair yaitu pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Karena itu majelis hakim menghukum Albar dengan pidana penjara selama tiga tahun. Di dalam pertimbangannya, menurut majelis hakim hal yang meringankan adalah terdakwa banyak jasanya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Albar adalah terdakwa kasus korupsi land clearing bandara Radin Inten II. Korupsi land clearing terjadi pada Agustus 2014 sampai Desember 2014. Dinas Perhubungan memiliki paket pekerjaan konstruksi land clearing bandara Radin Inten II dengan nilai pagu sebesar Rp 8,7 miliar.

Pada proses lelang, dimenangkan PT Daksina Persada dengan kuasa direktur Budi. Namun proses lelang itu dianggap tidak sah karena Budi bukan karyawan tetap perusahaan sebagaimana diatur Perpres Nomor 70 tahun 2012.

Namun karena Albar telah menitipkan pesan ke panitia pengadaan untuk memenangkan PT Daksina Persada maka panitia memenangkan PT Daksina. Setelah itu, Albar selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) menandatangani kontrak dengan Budi.

Dalam prosesnya, Albar membayarkan uang tanpa melakukan pengujian kualitas dan besaran volume yang terpasang pada proyek land clearing. Pada saat pemeriksaan progres fisik, disebutkan telah selesai 100 persen.

Faktanya pekerjaan baru mencapai bobot 92 persen. Untuk mengejar batas akhir pencairan, Budi bersama Albar membuat laporan akhir pekerjaan seakan-akan pekerjaan land clearing dan pematangan lahan sisi udara baru telah selesai 100 persen.

Jaksa menyatakan pengerjaan proyek ini tidak sesuai dengan spek yang telah disepakati. Yaitu terdapat kekurangan volume timbunan hasil perhitungan dimensi dan kekurangan volume timbunan hasil pemeriksaan kualitas/kepadatan.Rangkaian perbuatan itu, menurut Sidrotul telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 4,5 miliar.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved