25 Tahun Mendatang, E-Voting Baru Bisa Digunakan di Indonesia
Menurut Manik, keberhasilan Estonia dalam menyelenggarakan e-voting tidak dapat dijadikan rujukan Indonesia, untuk melaksanakan hal serupa.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Indonesia dinilai belum siap melakukan pemungutan suara secara elektronik (e-voting).
Apalagi, pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2019 akan digelar secara serentak.
Peneliti e-voting dari Universitas New South Wales, Manik Hapsara mengatakan, beragam persiapan dari hulu hingga hilir diperlukan, untuk menerapkan e-voting di Indonesia.
Jika tidak, penggunaan e-voting akan terbentur infrastruktur.
"Kesiapan infrastruktur perlu mendapat perhatian. Bukan hanya teknologi jaringan internet, tapi juga soal regulasi dan industri dalam negeri. Jangan sampai, ketergantungan dengan pihak swasta yang mengadakan alat e-voting," kata Manik di Kantor CSIS, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Menurut Manik, keberhasilan Estonia dalam menyelenggarakan e-voting tidak dapat dijadikan rujukan Indonesia, untuk melaksanakan hal serupa.
Dia mengungkapkan ada perbedaan karakteristik di antara dua negara itu.
Estonia merupakan negara kecil dengan jumlah penduduk sekitar 1,32 juta.
Sedangkan, Indonesia memiliki jumlah pemilih yang jauh lebih banyak.
"Indonesia kan jelas posisinya pemilih ada 170 juta pemilih, 540.000 TPS (tempat pemilihan suara), kekayaan alam besar banget," ucap Manik.
Manik menilai, e-voting berbeda dengan penerapan teknologi lain, seperti dalam dunia perbankan atau e-banking.
Tingginya keamanan dan sedikitnya orang yang mengetahui sistem e-voting, misalnya, dapat menghilangkan transparansi terhadap pemilih.
Menurut Manik, Indonesia tidak dapat menerapkan e-voting dalam waktu dekat.
Ia menduga penerapan teknologi itu baru bisa dinikmati sekitar 15 tahun hingga 25 tahun ke depan.
"Ada jaringan yang jauh lebih aman, transparansi, publik ikut serta dalam melakukan evaluasi, ikut membantu memperbaiki sistem," ujar Manik.
(Lutfy Mairizal Putra)