Perppu Pembubaran Ormas Berpotensi Langgar Hak Berserikat dan Berkumpul
Ia mengatakan, lewat Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, presiden berwenang menerbitkan perppu.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah berniat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk mempercepat upaya pembubaran organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Terkait hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa menilai, cara tersebut bisa menjadi langkah yang tidak tepat.
Ia mengatakan, lewat Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, presiden berwenang menerbitkan perppu.
Namun, pasal itu menyebutkan, dasar penerbitan perppu harus ada "kegentingan yang memaksa".
Karena itu, menurut Alghiffari, pemerintah perlu mengkaji terlebih dahulu, bahwa penerbitan perppu untuk membubarkan HTI nantinya sudah masuk dalam kategori "genting yang memaksa".
"Sebenarnya saat ini, tidak ada kegentingan yang memaksa," kata Alghiffari saat dihubungi, Kamis (18/5/2017).
Menurut Alghiffari, jika pemerintah tidak bisa menjelaskan kegentingan yang dimaksud, bisa jadi, penerbitan perppu justru melanggar hak.
"Justru Perppu ini berpotensi melanggar hak asasi warga negara untuk berserikat dan berkumpul," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR Fandi Utomo mengatakan, pemerintah perlu berhati-hati jika ingin menerbitkan Perppu.
Menurut dia, pemerintah perlu memberikan penjelasan lebih rinci terkait penerbitan perppu tersebut.
Hal yang perlu dijelaskan, di antaranya apakah perppu itu untuk mengganti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 (UU Ormas), atau ada tujuan lain.
Sebab, UU Ormas mengatur bahwa pembubaran ormas melalui mekanisme pengadilan.
"Mau nembak satu (ormas) atau semua ini? Ya kan? Kalau perppunya mengatakan bahwa pembubaran ormas tidak perlu melalui pengadilan, berarti semua ormas bisa terdampak," kata Fandi, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.
"Makanya, perlu kehati-hatian," lanjut dia.
(Fachri Fachrudin)