Membanggakan, 3 Novelis Lampung Unjuk Gigi ke Tingkat Nasional
Geliat para novelis Lampung yang sempat mulai redup kini mulai unjuk gigi kembali.
Penulis: Eka Ahmad Sholichin | Editor: Reny Fitriani
Ceritanya tentang pasukan konfederasi perang sipil Amerika yang memutuskan menjadi bandit dan sempat membunuh sherif dalam pelariannya.
"Jadi dalam kisah novel ini banyak kisah yang diulas mulai balas dendam, cinta, dan spiritual. Jadi, si bandit ini mendapatkan sesuatu dalam pelarian dan bertemu beberapa orang yang memiliki kesamaan rasa yakni kesepian," jelasnya.
Kebanyakan jika di film-film koboi menggambarkan sisi maskulin, hero, namun dalam kisah novelnya mengangkat sisi lain si tokoh yang walaupun hero tapi juga memiliki rasa sakit.
"Namun yang paling utama dalam novel ini yakni bagaimana kita menceritakan kisah hidup si tokoh tersebut. Untuk lokasi tempat bisa dimana saja, sebab saat ini sangat mudah mengakses referensinya. Dan literatur bisa dari membaca, lihat film dan lainnya," katanya.
Proses pembuatan novel karyanya yang memiliki sebanyak 145 halaman tersebut, memakan waktu selama kurang lebih dua tahun untuk pengerjaannya.
Cerita sendiri terinspirasi dari novel berjudul 'No Country for Old Men' karya penulis Cormac McCarthy. Kelebihan penulis ini bisa terasa dingin dalam menceritakan-menceritakan kejahatan dan kriminal.
"Ya awalnya agak ragu untuk menulis novel karya perdana saya ini karena sama sekali memang tidak ada dasar buat menulis. Terutama persoalan sintaksis sebab itu hal penting dalam membuat tulisan novel. Tapi, karena dukungan teman-teman di Kober Lampung akhirnya termotivasi buat lanjut nulis," jelasnya.
Penulis yang menjadi inspirasi dan panutan tentunya, Ketua Umum Kober (Komunitas Berkat Yakin)Lampung, Ari Pahala Hutabarat, yang menjadi spirit dalam penulisan karya novel perdananya tersebut.
"Hasil dari John the bandit tidak lain adalah konstribusi besar dari bang Ari yang memiliki kerendahan hati, kesabaran, mengarahkan, dan memiliki pengetahuan yang kredibel sehingga saya dapat menyelesaikan novel tersebut," ungkapnya.
Novel karya Alexander GB bertajuk 'Kampung Tomo' berkisah tentang seorang pemuda kampung yang kebetulan merantau lama di kota namun harus kembali lagi ke kampung halamannya lagi.
"Jadi, di novel ini memang lebih dominan pada eksistensial, kampung halaman, keluarga dan konflik-konflik yang menyertainya. Konfliknya sendiri lebih kepada pergeseran adanya masa transisi dari kota ke kampung halaman," papar Alexander.
"Ini buku kedua saya. Proses pengerjaannya melalui dua tahap yakni soal penulisan sendiri. Ini yang buat lama karena harus belajar menulis kalimat dengan tepat. Lalu, tahap selanjutnya menulisnya sehingga total waktu pengerjaannya 2 1/2 tahun karena ini tidak lepas soal logika bahasa dan peristiwa," terangnya.
Buku karyanya yang terdiri dari 200 halaman tersebut, sebenarnya terinspirasi dari karya cerpennya yang berjudul 'Tomo'. Nama 'Tomo' dipilih karena mudah diingat dan cocok untuk setting peristiwa di kampung.
Alexander GB menerangkan kesulitan dalam penulisan karyanya yakni pada penokohan dan membangun peristiwa yang utuh dan wajar, tentunya dalam isinya ada sejarah si tokoh, sisi baik dan buruknya, kemudia cara bicara dan bertindak.
"Dan juga termasuk memilih peristiwa yang tepat dan enak dibaca serta mengalir pada saat dibaca," jelas pria yang juga menjabat Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL).