Pasutri Lansia Ini Naik Sepeda Antar Anaknya yang "Tak Biasa" ke Sekolah Tiap Hari

Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.

KOMPAS.com/Dani J
Seperti inilah setiap hari Hernowo dan Kamilah membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. 

Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya. Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya. Yakni jati, nangka, dan akasia. Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.

Hernowo, Kamilah dan Wahyu hidup sederhana di lembah antara tebing-tebing curam. Sekelilingnya tumbuh pohon membentuk seperti hutan mini.
Hernowo, Kamilah dan Wahyu hidup sederhana di lembah antara tebing-tebing curam. Sekelilingnya tumbuh pohon membentuk seperti hutan mini. (KOMPAS.com/Dani J)

Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini. Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini.

Baca: Bahas Pariwisata, 10 Gubernur Berkumpul di Lampung

Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas. Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar.

Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda. Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.

Baru tahu DS Wahyu lahir 8 tahun setelah pernikahan Hernowo dan Kamilah. Keduanya sudah berumur 40 tahun ketika itu. Mereka tak menyangka Wahyu tumbuh dengan keterbelakangan mental (down syndrome).

Anak semata wayang ini tumbuh dengan suka sekali berlari tanpa henti sepanjang hari, tidak bisa menerima perintah dan peringatan. Ia sulit bicara.

Hernowo dan Kamilah kerap menemukan Wahyu memiring kepala ke samping, tatapan mata selalu kosong ke atas, mimik mukanya datar, dan tak bisa menyampaikan keinginan lewat kata-kata. Mereka belum curiga apa pun sampai waktunya sekolah TK.

“Bocah iki melet-melet mangan ilat (menjulur-julurkan lidah dan makan lidah),” kata Kamilah.

Baca: Menyamar Jadi Pria, Wanita Ini Cabuli Remaja Perempuan

Semakin usia bertambah, Wahyu makin sulit dikontrol. Emosinya tidak terkendali. Perjalanan hidup Wahyu bikin berantakan. Semua barang sering dihambur begitu rupa.

Kamilah jadi kerap tak sabar. Memasuki usia 5 tahun, Hernowo dan Kamilah memasukkannya ke PAUD dengan harapan ada kemajuan bagi Wahyu. “Baru tahu (DS) waktu dimasukkan ke TK. Bu (Guru) Sumiati bilang Wahyu harus masuk ke SLB ini,” kata Kamilah.

Hancur hati Hernowo dan Kamilah saat itu. Tetapi, mereka cepat pulih dari kecewa. Mereka memutuskan untuk menyekolahkan Wahyu. Ia mengakui, Sumiati, guru PAUD itu, yang menguatkan hati mereka, mendorong dan memotivasi mereka demi hidup Wahyu di masa depan.

Mereka memasukkannya ke SLB Pengasih, awalnya. Kemudian, ketika usia 7 tahun, Wahyu pindah ke SLB di Panjatan, 11 kilometer dari rumah mereka.

Wahyu yang belum bisa mengendalikan diri membuat Hernowo dan Kamilah terpaksa harus selalu mengantarkannya ke sekolah. Hernowo merelakan diri kehilangan Rp 20.000 per hari dari hasil mencuci piring di warung makan demi mengantar Wahyu sekolah.

Setiap hari Hernowo memboncengi Kamilah dan Wahyu dengan menggunakan sepeda ontelnya.
Setiap hari Hernowo memboncengi Kamilah dan Wahyu dengan menggunakan sepeda ontelnya. (KOMPAS.com/Dani J)
Sumber: Kompas.com
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved