Pasutri Lansia Ini Naik Sepeda Antar Anaknya yang "Tak Biasa" ke Sekolah Tiap Hari
Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.
Penghasilan minim membuat mereka tidak punya uang untuk membeli sepeda motor. Ongkos naik angkutan umum pulang dan pergi juga dirasa berat.
Mereka terpaksa naik sepeda ontel yang biasa dipakai mencari rumput untuk kambing peliharaan di rumah. Sepeda itu yang penting cukup kokoh untuk dibonceng dua orang.
Baca: Tak Kunjung Bayar Dana Biling, Pemkot Malah Salahkan Pemprov
Sepeda ontel ini berjasa sepanjang 5 tahun belakangan. Kaki kecil Hernowo mengayuhnya setiap hari belasan kilometer dari Anjir hingga Panjatan. Tekad keduanya seperti baja. Kuat. Sekalipun tidak bisa mengelak kalau telat karena jarak yang jauh dan cuaca, atau karena mereka sakit.
Tapi bisa dikata Wahyu adalah siswa yang paling rajin sekolah. “Wahyu ini anak yang aktif, hampir tidak pernah tidak masuk sekolah. Rajin sekolah,” kata Erlia Fatmasari Hadi, wali kelas 5C.
Kelas 5C berisi 6 siswa DS. Meski harus melewati waktu sangat lama, Wahyu mulai menampakkan perubahan. Ia menunjukkan kemampuan sosialisasi lumayan baik, berteman dengan semua orang, bermain dengan sebayanya, pandai bersepeda, tapi dalam komunikasi ia masih banyak diam.
Erlia mengatakan, di umur 13 tahun ini ia mulai bisa menebalkan gambar, menghubungkan titik dengan titik, mencontoh huruf, hingga mewarnai dengan pastel.
Yang terbaru, kata Erlia, Wahyu mulai bisa makan bekal sendiri pakai sendok. Erlia mengenang dulunya Wahyu suka jalan keliling kelas dan susah menuruti perintah. Lima tahun belakangan, tingkah hiperaktifnya berkurang.
“Baru tahun ini sama saya, sekarang dia sudah mau duduk,” kata Erlia.
Salah satu kemajuan yang dirasa Kamilah adalah Wahyu mulai betah di rumah. “Dulu suka hilang-hilang. Bahkan ketika Subuh bangun tidur, bocah iki (ini) sudah hilang menerobos gedhek. Delok-delok ilang delok-delok ilang (sebentar-sebentar hilang). Kulo panik padosi teng kedung malah ketemu ning gunung (saya panggil-panggil di kolam sungai malah ketemu di gunung),” katanya.
Perjalanan bagi Wahyu sejatinya masih panjang. Masih banyak yang harus diajarkan karena banyak kemampuan yang belum bisa dilakukan di usainya yang menjelang remaja.
“Pakai baju sendiri belum bisa. Memasang kancing masih belum bisa. Menali sepatu juga belum bisa,” katanya.
Kamilah mengaku, menyekolahkan Wahyu merupakan keputusan tepat. Dengan usia mereka yang sudah menjelang senja, tentu sulit bagi Wahyu kalau masih terus bergantung pada keduanya yang hidup tidak sejahtera.
Anak ini, bagi Kamilah, adalah karunia terbesar di hidup mereka, mengingat dua kali keguguran sebelum Wahyu lahir. Kondisi terbelakang mental tentu akan menyulitkan hidupnya di masa depan.
Kamilah pun ingin Wahyu suatu hari lebih percaya diri, tidak mudah dibohongi, bisa belanja sendiri, menghitung uang dengan benar, membaca petunjuk dan arah dengan benar, meski tidak bisa yang serbarumit.
“Piye tho anak kulo niku nek kulo boten (bagaimana anak saya itu kalau saya tidak) semangat. Piye nek ora disekolahke (bagaimana kalau tidak disekolahkan) Ben suk (biar besok) kami mati nanti, dia masih bisa mandiri,” kata Kamilah.
Pekerjaan sederhana
Wakil Kepala SLBN1 Legima mengatakan, sebagian besar siswa sekolah di SLB ini adalah anak dengan kecacatan tunagrahita (down syndrome), seperti Wahyu. Kecacatan seperti ini terbagi atas ringan, sedang, dan berat, yang masing-masing berbeda cara penanganan.
Wahyu tergolong sedang. Rata-rata mereka memiliki IQ di bawah 70, itulah mengapa mereka sulit menerima perintah dan pengarahan. Mereka memang menghadapi kesulitan untuk berkembang di masa depan.
Namun, sekolah merupakan tempat yang tepat untuk memberi peluang bagi mereka mewujudkan masa depan yang lebih baik. Legima mengatakan, anak-anak dengan kecacatan seperti ini mesti belajar melakukan pekerjaan sederhana.
Sebab, untuk bisa memiliki sebuah kecakapan saja penderita memerlukan waktu bertahun-tahun. Mengajar pun jadi harus ekstrasabar.
“Belajarnya menitikberatkan pada bina diri yang membuat anak bisa menolong dan merawat diri. Anak bisa mandiri mengerjakan keterampilan sederhana yang tidak perlu pemikiran rumit,” kata Legima.
Di sekolah, mereka belajar aktivitas sehari-hari seperti bagaimana memakai baju, mengenakan sepatu, bagaimana menghadapi kebakaran, menghadapi banjir dan kolam, bagaimana memegang sendok sendiri, bagaimana menyeterika, hingga bagaimana berada di depan umum.
"Untuk perempuan bagaimana menangani mens, memakai pembalut, membersihkan, mencuci, itu juga bagian dari mata pelajaran," katanya.
Setiap anak memiliki kemampuan masing-masing. Pengajarannya pun tidak mengikuti kurikulum pada umumnya. "Kita menekankan kemampuan betul-betul untuk tiap anak. Sehingga kalau lulus SMA nanti punya skill," katanya.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi penderita tunagrahita untuk memiliki masa depan dengan kecakapan sederhana itu. "Misal seperti bikin batako. Bukan meramu obat. Misal, (bukan) menyemprot lahan sekian hektar dengan batas tertentu, tapi kalau mencangkul bisa," kata Legima.
Dengan latihan di sekolah, maka anak memiliki peluang tidak seutuhnya bergantung pada orangtua di hari depan. Apalagi, dengan kondisi orangtua seperti Hernowo dan Kamilah.
Bagi Legima, Hernowo dan Kamilah telah menunjukkan semangat yang mengagumkan. Meski dalam kesulitan hidup, mereka tetap mau menyekolahkan Wahyu dengan serius.
Sedikit orang yang seperti mereka. Ada saja yang minim perhatian orangtua, bahkan dititipkan dalam asrama. Berbeda dengan Hernowo dan Kamilah, pasutri penjual kayu bakar ini. Mereka mencontohkan pengharapan bahwa keluarga marjinal yang melahirkan generasi marjinal, tidak boleh menyerah menjadi marjinal suatu hari di masa depan. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Suami Istri Lansia "Ngontel" Setiap Hari dari Hutan ke Kota Antar Anaknya yang "Down Syndrom" ke Sekolah
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lampung/foto/bank/originals/hernowo_20180328_164858.jpg)