Pasutri Lansia Ini Naik Sepeda Antar Anaknya yang "Tak Biasa" ke Sekolah Tiap Hari

Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.

KOMPAS.com/Dani J
Seperti inilah setiap hari Hernowo dan Kamilah membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. 

Hernowo biasa mencari dan memotong kayu, Kamilah mengikatnya setelah mengeringkan dengan cara diangin-angin. Kayu itu dijual Rp 6.000 per ikat pada seorang pengepul.

Penghasilan dari kayu ini minim. Kayu belum tentu terjual tiap minggu. Mereka masih beruntung dapat Rp 100.000 setiap bulan dari kebun berisi 13 pohon kelapa di pekarangan belakang rumah. Ada saja orang yang menebas (membeli) kelapa langsung di pohon.

Kambing peliharaan juga bisa jadi andalan ketika beranak. Anak kambing harganya lumayan, sekitar Rp 700.000 ketika dijual. 

Baca: Dua Bulan Hanya ”Dilayani” Pakai Tangan, Korban Baru Sadar Pasangannya Seorang Lesbian

“Kayu untilan (ikat) ditumpuk di depan. Belum tentu terjual sesasi (tiap minggu). Tambahan dari jual daun pisang dan daun pepaya, sesasi gangsal welas ewu (seminggu Rp 15.000), dikasih ke Desa Gunung Pentul,” kata Kamilah.

Mereka mengakui tidak bekerja lebih baik dari pada hari ini. Keduanya hanya mengenyam pendidikan sampai SD, tanpa keterampilan memadai. Kamilah pernah jadi kuli batu, Hernowo pernah jadi tukang cuci piring di warung makan.

Setelah memiliki anak, Hernowo masih sulit mendapatkan pekerjaan yang cukup layak lantaran fungsi pendengarannya kurang baik. Orang harus bersuara sangat nyaring bila ingin komunikasi dengannya.

“Sebelum Wahyu sekolah, bapak kerja di warung asah-asah (mencuci piring). Upah Rp 20.000 sehari,” kata Kamilah.

Mereka tetap mensyukuri kehidupan ini. Soal makan, semua sudah disediakan alam. Sayur dan buah, kelapa tua untuk santan, dan beberapa rempah tersedia di halaman rumah. Pepaya, pohon pisang, dan singkong bisa jadi selingan. Setidaknya mereka bisa beli beras, telur, mi instan.

Baca: Dimusuhi Seluruh Dunia, Ratusan Diplomat Rusia Diusir

“Wahyu suka sekali endog (telur). Kami bisa ambil jantung pisang untuk bikin jangan (sayur),” katanya.

Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu. Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru. Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi.

Hanya ada penerangan. Itu pun minim. Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo. Ruang utama rumah jadi satu semuanya di ruang depan, baik untuk tamu hingga tidur.

Halaman rumah mereka luas, bersih, bahkan tebing di kanan kirinya nyaris tanpa rumput dan lumut. Pohon-pohon pepaya tumbuh tinggi di depan rumah. Ini berkat Kamilah yang rajin bersih-bersih dan merawat halaman.

“Kalau bapak ini mencari rumput untuk kambing sampai jauh ke Glagah (10-an kilometer). Dia maunya nyari rumput tok,” katanya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved