Ketika 'Virus' Enny Arrow Mewabah, Orangtua dan Sekolah pun Kelimpungan
Kalau pun dikasih tahu, cuma sedikit. Padahal pada usia itu, remaja ingin tahu sekali.
"Informasi seks asusila itu seakan membanjir dan sulit dibendung," cetus Kartono Mohamad dalam diskusi tentang informasi seks, 6 Januari 1990.
Informasi seks, baik yang termuat dalam bentuk rubrik konsultasi, ulasan, atau foto yang kurang layak dan proporsional, menurut pimpinan majalah kedokteran Medika itu akan mengarah ke asusilagrafi.
Padahal, informasi semacam itu masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Yang bisa diancam oleh pasal 281, 282, 532, dan 533 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Ditutup-tutupi
Yang dijadikan sasaran oleh penerbit dan pengedar informasi seks liar seperti Enny Arrow, dan media massa, sebagian terbesar memang remaja. Kelompok masyarakat terbesar, yang - terus terang saja - mudah tertarik dan terangsang oleh informasi seks.
Sesuai dengan perkembangan psikologisnya, remaja yang masih duduk di bangku SMTP, menurut Arif Rachma, kepala SMAN 81 Jakarta Timur waktu itu, memiliki minat dan keingintahuan yang besar terhadap informasi seks.
"Pembuat gambar atau tulisan asusila di WC-WC atau sekolah, kebanyakan siswa SLTP," cetusnya dalam diskusi yang sama.
Pengaruh informasi liar ini lebih dominan. Karena remaja tak mendapatkannya dari sumber yang benar, antara lain buku asusila.
Informasi semacam ini memang dicari remaja, "Karena informasi yang tersedia dianggap kurang memadai,” ungkap Alwi Dahlan, seorang ahli komunikasi, yang waktu itu menjadi asisten Menteri Negara KLH.
Seks, misalnya. "Di satu sisi dipandang sebagai hal yang penting diketahui. Karena menyangkut kelanjutan hidup manusia. Tapi di sisi lain, ada, hal-hal mengenai seks yang ditutupi," tambahnya.
Di sini, sebenarnya orangtua berperan buat memberikan informasi yang benar tentang seks. Dia mengingatkan agar orangtua mengikuti perkembangan jiwa remaja.
"Para remaja itu mendambakan keterbukaan berkomunikasi, antara dirinya dan orang dewasa," cetusnya.
JB Wahjudi, ahli komunikasi yang waktu itu menjadi pejabat di TVRI, sepakat dengan pendapat Arif.
"Tapi, untuk berkomunikasi secara terbuka tentang masalah seks dengan anak sendiri yang sudah remaja, saya tidak punya keberanian," ungkapnya.
Norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat, mendorong ketidakberanian orangtua untuk berkomunikasi soal seks kepada remaja.
