Terinspirasi Radin Inten II, Khaja Muda Kembangkan Tukus Lampung
Sedangkan tukus merupakan ikat penutup kepala biasa yang bisa dipakai kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun.
Penulis: Dedi Sutomo | Editor: Daniel Tri Hardanto
Laporan Reporter Tribun Lampung Dedi Sutomo
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, PENENGAHAN - Kegemaran terhadap seni budaya lokal membulatkan tekad Khaja Muda mengembangkan tukus (tutup kepala khas Lampung).
Sejak sebulan terakhir, warga Desa Kuripan, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan ini pun mulai memproduksi tukus.
Tanggapan dari masyarakat pun cukup tinggi. Ini terihat dari pesanan yang diterima oleh Khaja Muda yang terus mengalir.
Setidaknya dalam satu bulan terakhir ia telah menjual sekitar 120 buah tukus hasil kreasinya. Pembelinya pun tidak hanya sebatas dari wilayah Penengahan. Tetapi juga ada dari Kalianda dan Sidomulyo. Bahkan ada yang dari luar Lampung Selatan.
Saat disambangi Tribun Lampung, Jumat, 8 Juni 2018, Khaja Muda menyempatkan waktu berbagi cerita soal awal mula dirinya menekuni tukus.
Ia mengaku sangat menyukai hal terkait dengan seni budaya Lampung. Apalagi ia memang berdarah Lampung.
Baca: Kecelakaan di Jalinsum Natar, Redaktur Tribun Lampung Meninggal Dunia
Ia pun sangat ingin memunculkan hasil seni budaya Lampung untuk dikenalkan secara luas kepada masyarakat.
“Selama ini, hasil budaya Lampung pada bidang fashion yang dikenal masyarakat yakni kain tapis, sulam usus atau sulam inuh. Ini lebih banyak fashion wanita. Sedangkan untuk pria masih sangat jarang,” kata dia.
Tukus, terang Khaja, merupakan aksesori yang kerap digunakan kaum pria Lampung dalam berbagai kegiatan.
Memang, selama ini masyarakat mengenal kikat (topi/tutup kepala khas Lampung). Tetapi kikat biasanya digunakan dalam acara-acara resmi adat atau masyarakat, dan biasanya digunakan oleh tokoh-tokoh tertentu.
Sedangkan tukus merupakan ikat penutup kepala biasa yang bisa dipakai kapan pun, di mana pun, dan oleh siapa pun.
“Kalau kikat sudah memiliki bentuk paten. Bentuknya tertentu. Sedangkan tukus tidak memiliki bentuk paten seperti halnya kikat,” terang Khaja.
Khaja mulai mengenakan tukus sejak tiga tahun terakhir. Ia terinspirasi tutup kepala yang digunakan Radin Inten II.
Baca: Pembeli ”Bernyanyi”, Status Honorer Pemkot Bandar Lampung Jadi Bandar Sabu pun Terungkap
Sejauh ini dirinya masih membuat tukus secara manual. Ia membeli kain khusus yang biasa digunakan untuk tapis sebagai bahan utama. Biasanya dipadukan dengan kopiah atau topi songkok Muslim.
Kain tapis itu dibentuk sedemikian rupa kemudian dijahit dengan tangan. Lalu dipadukan dengan kopiah/songkok. Untuk lebih menguatkan nilai budaya lokal, Khaja menambahkan motif tapis pada bagian depan tukus.
Khaja biasanya menjual tukus seharga Rp 80 ribu untuk model biasa dan Rp 100 ribu untuk model Hanuang Bani. (*)