Ada Pemberian Uang Sekardus, Anggota DPRD Lampung Tengah Rusliyanto Sempat Panik

Suaranya tak berapa jelas, kelihatan seperti orang takut. Dia bilang, bawa pergi jauh-jauh. Saya bingung waktu itu

Anggota DPRD Lampung Tengah Rusliyanto duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (20/8/2018).(KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN) 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Anggota DPRD Lampung Tengah Rusliyanto sempat panik saat kerabatnya menerima uang lebih kurang Rp 1 miliar yang dibungkus di dalam kardus.

Uang tersebut adalah uang suap yang diberikan Bupati Lampung Tengah Mustafa dan Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman.

Hal itu diketahui saat saudara ipar Rusliyanto, Muhammad Andi Perangin-angin, bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (20/8/2018).

Baca: Sudah Divonis KPK dan Dipenjara, Mustafa Masih Jadi Bupati Lampung Tengah

Andi bersaksi untuk terdakwa Rusliyanto dan Wakil Ketua DPRD Lampung Tengah J Natalis Sinaga.

"Sore hari, satu hari sebelum OTT, ada telepon dari Aan (Aan Riyanto), orang Dinas Bina Marga. Katanya ada titipan buat Pak Rusliyanto. Katanya Pak Rusli sudah tahu," ujar Andi kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Andi, Aan kemudian memerintahkan PNS di Dinas Bina Marga, Supranowo, untuk menyerahkan kardus kotak berwarna cokelat kepadanya.

Setelah kardus diterima, Andi langsung mengonfirmasi kepada Rusliyanto.

Menurut Andi, saat dihubungi melalui telepon, Rusliyanto terdengar seperti panik dan ketakutan.

"Suaranya tak berapa jelas, kelihatan seperti orang takut. Dia bilang, bawa pergi jauh-jauh. Saya bingung waktu itu," kata Andi.

Saat itu, Andi tidak mengetahui isi kardus tersebut. Namun, dia menduga bahwa kardus itu berisi uang.

Andi kemudian menghubungi kembali Rusliyanto.

Saat itu, Rusliyanto meminta agar kardus itu dibuang.

Namun, Andi mengatakan bahwa kardus itu aman karena disimpan di dalam rumah.

Setelah itu, pada malam hari, Andi membawa kardus itu ke rumah orang tuanya.

Andi kemudian menitipkan kardus tersebut kepada adiknya, Andika. Tak berapa lama, petugas KPK melakukan operasi tangkap tangan.

Dalam kasus ini, uang Rp 1 miliar itu diduga diberikan agar Wakil Ketua DPRD Lampung Tengah Natalis Sinaga menandatangani surat pernyataan kesediaan Pimpinan DPRD Lampung Tengah, untuk persetujuan rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Muti Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2018.

Vonis Mustafa

Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa dijatuhi vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.

Ia dinyatakan terbukti memberikan suap secara berlanjut sebesar Rp 9,6 miliar, kepada anggota DPRD Lamteng.

Usai persidangan, Mustafa langsung mendatangi sang istri, Nessy Kalvia yang hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (23/7). Mustafa pun memeluk dan mencium kening Nessy.

Pantaun Tribun, Nessy hadir di Pengadilan Tipikor Jakarta bersama puluhan kerabat dan rekan Mustafa dari Lampung.

Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (11/7/2018).
Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (11/7/2018). ((KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN))

Selama pembacaan putusan majelis hakim, Nessy terlihat tegar duduk di kursi pengunjung.

Namun, setelah pembacaan putusan, mata Nessy terlihat berkaca-kaca.

Terlebih saat didatangi oleh Mustafa, yang langsung memeluk dan mencium sang istri.

Sementara Mustafa terlihat tegang selama pembacaan putusan.

Usai persidangan, ia pun diam seribu bahasa dan langsung berlalu meninggalkan ruang sidang.

Mustafa divonis tiga tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Selain itu, "bupati ronda" tersebut diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.

"Mengadili menyatakan terdakwa Mustafa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut menjatuhkan pidana karenanya selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama tiga bulan," ujar Ketua Majelis Hakim, Ni Made Sudani, saat membacakan amar putusan.

Dalam pertimbangan, hakim menilai perbuatan Mustafa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.

Adapun hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan, belum pernah dihukum, masih punya tanggungan keluarga, menyesal dan mengakui perbuatannya.

Cabut Hak Politik

Selain pidana penjara dan denda, majelis hakim juga memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama dua tahun.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut hak terdakwa menduduki jabatan publik selama 2 tahun, terhitung terdakwa selesai menjalani masa pemidanaan," kata Ni Made Sudani.Mustafa-Aja berfoto bersama usai pengundian no urut paslon (Istimewa)

Dalam amar putusan, Mustafa terbukti menyuap anggota DPRD Lamteng sejumlah Rp 9,6 miliar.

Penyuapan dilakukan bersama Kepala Dinas Bina Marga Lamteng, Taufik Rahman, yang telah divonis 2 tahun penjara.

Pemberian uang secara bertahap kepada legislator dimaksudkan agar DPRD memberikan persetujuan dan pernyataan rencana pinjaman daerah Lamteng ke PT Sarana Multi Infrastruktur (MSI) sebesar Rp 300 miliar pada tahun anggaran 2018.

Mustafa dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Vonis Mustafa ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada KPK, yakni 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Atas putusan majelis hakim, Mustafa menyatakan menerima.

"Hasil diskusi dengan kuasa hukum saya, saya terima keputusannya," ujar Mustafa.

Sementara kubu jaksa KPK menyatakan sedang mempertimbangkan untuk mengajukan banding.

Sedangkan anak buah Mustafa, Kepala Dinas Bina Marga Taufik Rahman, divonis dua tahun penjara dalam sidang sebelumnya.

Adapun pihak-pihak yang menerima uang suap adalah Ketua DPRD Lamteng Achmad Junaidi Sunardi, Wakil Ketua DPRD Natalis Sinaga, dan anggota DPRD Rusliyanto, Raden Zugiri, Bunyana, dan Zainuddin.

Sedangkan akademisi Unila Yusdianto mengatakan, skandal suap di Lampung Tengah yang melibatkan eksekutif dan legislatif harus diusut sampai tuntas.

Makanya dengan adanya putusan Mustafa ini, menruut diam, kasus ini sudah menemui titik terang.

Artinya, praktik suap di Lamteng benar-benar terjadi.

Dengan adanya putusan majelis hakim terhadap Mustafa, maka penyidik KPK perlu menindaklanjuti kasus ini.

Hal yang perlu didalami selanjutnya, menurut Yusdianto, adalah keterlibatan pihak-pihak dalam transaksi suap.

Pihak pemberi sudah jelas, yakni Mustafa dan Kepala Dinas Bina Marga, Taufik Rahman.

Sedangkan pihak penerima suap yang dijerat adalah Wakil Ketua DPRD, J Natalis Sinaga dan anggota DPRD Rusliyanto.

"Namun, melihat konstruksi kasus suap ini, sebagaimana dalam surat dakwaan, keterangan saksi, dan surat tuntutan, jaksa maupun penyidik KPK harus melakukan pengembangan terhadap para penerima uang suap tersebut. Meskipun sebagian besar penerima sudah mengembalikan uang kepada KPK," ujarnya. 

Yusdianto pun menambahkan, misalnya kasus suap yang terjadi di Sumatera Utara dan Malang, Jawa Timur.

Kasus suap berjamaah itu, tak lantas berhenti dengan adanya putusan terhadap orang-orang yang terjaring OTT.

Kata akademisi Fakultas Hukum Unila ini, ada pengembangan kasus yang dilakukan penyidik KPK.

Sehingga satu per satu anggota DPRD, baik Sumut maupun Malang, mendapat sanksi hukum atas perbuataanya dalam praktik suap.

Begitu pula dalam praktik suap di Lamteng ini.

Menurut dia, suap ini melibatkan banyak orang.

Bahkan, ada aliran uang untuk pihak di luar struktur DPRD.

Namun, nama-nama yang disebut menerima uang itu, masih melenggang bebas menghirup udara segar.

Karena itulah, KPK perlu mengembangkan kasus ini agar semua pihak yang terlibat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved