Heboh Warga Gelar Pentas Dangdut di Kuburan, Ini Tanggapan Pemprov DKI Jakarta
Heboh Konser Dangdut di Kuburan, Bagaimana dengan Pesta Mewah di Tengah Badan Jalan?
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Viral pentas dangdut di kuburan hingga menghebohkan publik membuat Pemprov DKI Jakarta angkat bicara.
Apa yang sebenarnya terjadi hingga warga menggelar hajatan pentas dangdut di kuburan?
Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta Djafar Muchlisin mengatakan, video hajatan warga yang viral di media sosial tidak dilaksanakan di dalam area taman pemakaman umum (TPU) Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Baca: Viral Hajatan Pentas Dangdut di Kuburan - Polisi Ini Tegas Bongkar Tenda Hajatan di Tengah Jalan
Menurut Djafar, panggung hajatan berada di area luar TPU.
"Itu sebenarnya bukan di dalam, tetapi karena kameranya ambil gambar dari dalam saja jadi seakan-akan hajatan itu adanya di dalam (area TPU)," ujar Djafar ketika dihubungi, Senin (10/9/2018).
Djafar mengatakan, TPU Pondok Kelapa memang tidak memiliki pagar pembatas tinggi.

Namun, karena sangat dekat area makam, banyak warga menikmati hajatan di area TPU.
Djafar pun menegaskan TPU tidak boleh dijadikan lokasi hajatan.
Baca: Viral Konser Dangdut di Kuburan, Ternyata Ini yang Terjadi hingga Dangdutan di Tengah Makam
"TPU itu enggak boleh dijadikan tempat seperti itu," kata Djafar.
Sebelumnya, akun Twitter atas nama Yuwandi, @juriglagu, mengunggah sebuah video yang memperlihatkan pertunjukan dangdut di sebuah acara hajatan yang diselenggarakan di area pemakaman.
Video berdurasi 1 menit 24 detik itu sudah mendapat ratusan komentar dan di-retweet lebih dari 4.000 kali sejak diunggah pada Sabtu (8/9/2018).
Kata Sosiolog
Masyarakat Indonesia kerap menyelenggarakan pesta untuk berbagai acara besar dalam keluarga, misalnya pesta pernikahan.
Pesta biasa digelar di gedung-gedung serbaguna yang disewakan maupun di halaman rumah masing-masing pemilik acara.
Namun, hal itu kerap terkendala ketersediaan lahan kosong yang dapat digunakan.
Tak heran masyarakat kerap menyelenggarakan pesta pernikahan dengan menggunakan sarana dan fasilitas publik yang notabene menjadi hak semua orang untuk memanfaatkannya.

Misalnya, dengan menutup sebagian jalan umum untuk mendirikan tenda pernikahan, sehingga para pengendara tidak bisa melaluinya dan terpaksa memutar arah untuk mencari jalur lain.
Bahkan, akhir-akhir ini pesta pernikahan digelar di tempat yang semakin beragam, dari jalur kereta api hingga pemakaman.
Pertengahan Juli kemarin, media sosial dihebohkan dengan pesta pernikahan yang digelar di tengah lintasan kereta api.
Berdasarkan konfirmasi pihak PT KAI, jalur itu berlokasi di sekitar Balai Yasa, Yogyakarta, dan merupakan jalur buntu yang tidak dilintasi kereta.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, menyayangkan penggunaan sarana dan fasilitas publik untuk kepentingan hajatan, terutama saat menggunakan pemakaman.
Menurut Sunyoto, penggunaan pemakaman untuk hajatan tidak layak dilakukan.
"Dalam masyarakat kita makam masih dihormati. Sebaiknya dihindari. Kalau dibiarkan justru dianggap benar," ujar Usman saat dimintai pendapat oleh Kompas.com, Senin siang.
Saat ditanya pendapatnya mengenai pesta pernikahan yang menggunakan sarana umum, Sunyoto Usman memandang bahwa ini diakibatkan kurangnya fasilitas publik berupa gedung yang dapat digunakan masyarakat untuk menggelar pesta.
"Ada baiknya pemerintah membangun gedung serbaguna sederhana yang dapat dipakai untuk kegiatan masyarakat termasuk pesta hajatan. Sewa murah untuk pemeliharaan gedung," ujar Usman.
Menurut dia, gedung-gedung yang saat ini dapat disewa untuk diijadikan tempat penyelenggaraan pesta, mayoritas dipatok dengan harga sewa yang relatif mahal. Dengan demikian, ini tidak terjangkau bagi sebagian kalangan.
Misalnya di gedung-gedung serbaguna milik perseorangan, atau di hotel-hotel berbintang.
Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan masyarakat untuk menggelar acara di sekitar kediaman mereka sendiri, meskipun harus memanfaatkan beberapa sarana dan fasilitas publik yang ada, seperti jalan raya.
Sebab, lahan kosong yang mereka miliki tidak cukp untuk menampung tamu yang ada.
"Kebiasaan menggunakan jalan itu sudah lama, murah meriah. Sayang negara tidak pernah hadir. Padahal jalan itu milik publik," ucap Usman.
Hal ini dapat terjadi ketika penyelenggara pesta mengajukan izin kepada pemerintah setempat untuk menutup jalan guna menunjang ketersediaan tempat untuk acara.
Hal ini relatif lebih murah dan mudah untuk dilakukan.
"Kalau dilarang harus diberi alternatif, gedung serbaguna jadi jawaban," ujar Usman.