Rahmat Saiful Bahri 2 Kali Lolos dari Tsunami Aceh dan Palu

Rahmat Saiful Bahri 2 Kali Lolos dari Tsunami Aceh dan Palu, Menyelamatkan Diri ke Bangunan Tinggi

Editor: taryono
Swiss Bell Hotel Palu setelah diterjang tsunami 28 September 2018 

Jenazah manusia dan bangkai hewan tampak bergelimpangan. Kendaraan yang rusak dan terbalik akibat tsunami terlihat di mana-mana. Juga perabotan-peraboitan rumah dan berbagai benda lain.

Di bandara, ternyata sudah sangat banyak orang yang mengantre dengan harapan yang sama: untuk bisa naik pesawat militer jenis Hercules untuk dievakuasi.

Jumlah pesawat dan mereka yang ingin pergi sangat tidak seimbang, Rahmat harus menunggu selama tiga hari di tempat tersebut.

"Semua orang kesulitan, tidak ada bantuan, tidak ada makanan. Keributan mulai terjadi, karena semua yang ada di situ ingin keluar dari wilayah Palu, lantaran gempa terus terjadi. Syukurnya, pada hari keempat, saya mendapat giliran, dievakuasi ke Makassar, lalu Jakarta. Dan Alhamdulillah, akhirnya tiba kembali ke Aceh," kisah Rahmat.

Sebelumnya, keluarga Rahmat resah ketika dua hari hilang kontak padahal laporan mengenai gempa dan tsunami bermunculan.

'Dua Kali Gempa dan Tsunami'

Pada Rabu (03/10/2018), Rahmat kembali mendarat di Aceh, kampung halamannya, tempat ia mengalami kejadian serupa 14 tahun lalu dalam skala yang bahkan jauh lebih dahsyat.

Gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 menewaskan lebih dari 220.000 orang di berbagai negeri, termasuk Thailand. Namun yang paling menderita dan paling banyak korban, adalah Aceh, dengan lebih dari 170.000 korban jiwa.

Rahmat Saiful Bahri mengenang, pada 2004 ia selamat dari gempa dan tsunami Aceh dengan berlindung di atas surau yang tinggi. Pengalaman yang memberinya pelajaran penting dalam menyelamatkan diri di Palu.

"Tanggal 26 Desember tahun 2004 itu saya sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja, walaupun hari Minggu, karena ada tugas menyiapkan pidato wali kota untuk rapat paripurna," Rahmat Saiful Bahri, mengenang gempa dan tsunami Aceh 14 tahun lalu.

Itu tsunami pertama yang dialaminya dalam hidupnya, dan Rahmat tak pernah membayangkan akan mengalami yang kedua kalinya, dan, untungnya, selamat.

"Mulanya tidak ada yang tahu itu tsunami, semua berpikir itu banjir saja," kata Rahmat.

Saat itu rumahnya yang berada di Desa Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, hanya berjarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai.

"Saya pikir banjir biasa, makanya saya masih sempat mengunci pintu dan membawa semua keluarga ke surau didekat rumah. Namun tiba-tiba gelombang tinggi datang, dan menggulung apa saja," kenang Rahmat.

"Banyak orang yang di depan mata kita terhimpit bangunan dan dibawa ombak, semua meminta tolong, tapi kita hanya bisa melihat sampai mereka meninggal. lailahaillallah... lailahaillallah... awalnya hidup walaupun terhimpit, tepat didepan mata, tapi tidak ada yang berani menolong.''

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved