Wakil Wali Kota Terancam Diberhentikan, Yusuf Kohar Pernah Nyaris Adu Jotos dengan Ketua DPRD
Hasil Sidang Paripurna DPRD Bandar Lampung membuat wakil wali kota terancam diberhentikan dari jabatannya.
Penulis: Romi Rinando | Editor: Ridwan Hardiansyah
Perseteruan kedua pejabat daerah tersebut terjadi di Kafe Hotel Amalia.
Sekitar pukul 23.00 WIB itu, Yusuf Kohar dan Wiyadi sempat bersitegang.
Beruntung, kontak fisik di antara keduanya tidak terjadi.
Hal itu lantaran sejumlah orang yang berada di lokasi kejadian, berhasil melerai kedua pejabat daerah itu.
Menurut Wiyadi, peristiwa tersebut bermula saat ia baru selesai menghadiri pertemuan bersama koleganya sesama anggota DPRD Bandar Lampung di Hotel Amalia.
Saat meninggalkan hotel, secara tidak sengaja, Wiyadi bertemu Yusuf Kohar, yang sedang berada di kafe hotel.
Seketika itu, Kohar langsung beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Wiyadi.
Ia lalu menantang Wiyadi berkelahi.
"Malam itu, saat saya mau pulang, tiba-tiba Yusuf Kohar berdiri dari mejanya, nyamperin saya. Dia ngajak saya berkelahi," cerita Wiyadi, Minggu (2/9/2018).
Kejadian tersebut, lanjut Wiyadi, diduga akibat pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket DPRD Bandar Lampung.
Pembentukan pansus bertujuan untuk menindaklanjuti kebijakan Yusuf Kohar, saat menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Bandar Lampung, yang dinilai menyalahi aturan.
Yusuf Kohar menjabat Plt wali kota saat Wali Kota Bandar Lampung Herman HN sedang cuti untuk mengikuti kampanye Pilgub Lampung 2018.
"Dia bilang, ’Kenapa DPRD buat-buat pansus hak angket? Sudah idealis benar apa kamu?’” ucap Wiyadi menirukan ucapan Yusuf Kohar saat kejadian.
Peristiwa itu, Wiyadi menuturkan, terjadi saat masih banyak orang di Kafe Hotel Amalia.
"Banyak saksi di lokasi kejadian," tutur politisi PDIP itu.
Sementara, Yusuf Kohar membantah bahwa dirinya nyaris terlibat perkelahian dengan Wiyadi.
“Kata siapa? Tapi, kan nggak ada gambarnya (video). Idak katek (tidak ada). Kamu kata siapa?” ungkap Yusuf Kohar.
Yusuf Kohar pun membantah telah menantang Wiyadi berkelahi.
“Kata siapa? Kau tanya saja sama dia (Wiyadi) ya?” tutur politisi Partai Demokrat itu.
Wakil Wali Kota Terancam Diberhentikan
DPRD Bandar Lampung sepakat menggunakan Hak Menyatakan Pendapat, berdasarkan usul Pansus Hak Angket.
Pansus Hak Angket bermula adanya kebijakan Yusuf Kohar saat menjabat Plt Wali Kota Bandar Lampung sekitar Februari 2018 lalu.
Ketika itu, Yusuf Kohar melakukan roling sejumlah pejabat eselon.
Sementara dalam rapat paripurna DPRD, Juru Bicara Pansus Hak Angket, Nu'man Abdi memaparkan hasil penyelidikan dan penyidikan selama satu bulan.
Nu'man menyatakan, Kohar melanggar sejumlah aturan, di antaranya Pasal 66 ayat 1 huruf a angka 1.
Kemudian, Pasal 67 huruf d tentang kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan urusan pemerintahan.
Kohar juga disebut melanggar UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Saudara Yusuf Kohar juga terbukti melanggar Pasal 207 ayat 1 yang menyatakan hubungan kerja antara DPRD dan kepala daerah didasarkan atas kemitraan yang sejajar, diwujudkan dalam bentuk rapat konsultasi DPRD dengan kepala daerah. Sedangkan, saudara Yusuf Kohar tidak pernah menganggap DPRD sebagai mitranya," jelas Nu'man.
Ia mengungkapkan, keputusan tersebut merupakan hasil pemeriksaan 15 saksi dan konsultasi kami ke Kemendagri dan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Selanjutnya, Pansus Hak Angket mengusulkan di paripurna ini untuk menggunakan hak menyatakan pendapat atas dugaaan pelanggaran itu," ucapnya.
Usai laporan tersebut, pada hari yang sama, DPRD kembali menggelar rapat paripurna pada sore hari.
Rapat beragenda penggunaan Hak Menyatakan Pendapat tersebut turut dihadiri Wali Kota Bandar Lampung, Herman HN.
Dari delapan fraksi di DPRD, tujuh di antaranya terang-terangan mendukung penggunaan Hak Menyatakan Pendapat, atas dugaaan pelanggaran yang dilakukan Yusuf Kohar.
Sedangkan, Juru Bicara Fraksi Demorkat, Hendra Mukri menyebutkan, fraksinya tidak menentang penggunaan hak DPRD tersebut.
"Fraksi Demokrat menyatakan menghormati proses yang terjadi di DPRD karena dinilai sudah menganut asas transparansi sesuai dalam aturan," ucap Hendra.
Sementara, Herman HN menyatakan menghormati hak DPRD.
"Apabila itu telah sesuai peraturan yang berlaku, kami menghargai dan menghormati hak menyatakan pendapat yang disampaikan dewan yang terhormat ini," kata Herman HN, dalam pidatonya.
Kirim ke MA
Nu'man mengatakan, surat keputusan Hak Menyatakan Pendapat nantinya disampaikan ke Mahkamah Agung.
Kemudian, MA akan memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah sudah sesuai dengan UU.
"Jadi, kita menunggu apa hasil MA. Jika putusan MA menyatakan pendapat DPRD itu benar, maka sanksinya tergantung dari DPRD. Kita menetapkan sanksi sesuai putusan MA itu. Dan, sanksi terberat adalah pemberhentian. Dan, kita merujuk saja kasus (mantan) Bupati Garut, Aceng Fikri, yang diberhentikan karena melanggar UU," ujarnya.
Sanksi berdasarkan putusan MA itu, kemudian diajukan ke Mendagri melalui Gubernur Lampung.
"Ini sesuai PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang kewenangan DPRD dalam mengangkat dan memberhentikan kepala daerah, yang merupakan turunan dari UU 23 tahun 2014 itu," katanya.
Terpisah, Ketua DPC Partai Demokrat Kota Bandar Lampung, Budiman AS menyayangkan sikap legislator kepada Yusuf Kohar.
Ia menegaskan, Partai Demokrat menolak hak angket DPRD tersebut.
Menurut dia, ada cara lain yang bisa dipakai DPRD.
"Terlampau jauh yang dilakukan DPRD. Hak angket itu kalau yang terpaksa sekali harus diambil. Ini kan komunikasi saja yang tidak lancar, jangan pakai hak angket itulah," kata Budiman.
Meski demikian, mantan ketua DPRD Kota Bandar Lampung itu berharap, semua pihak menahan diri, dan saling menghormati.
Termasuk, Yusuf Kohar menghormati sikap DPRD.
"Lembaga dewan harus dihormati. Kalau dipanggil DPRD itu harus datanglah, tetapi jangan pula karena kurang lancar komunikasi melakukan hak angket," ucapnya.
Baca: Disebut Pansus Langgar Aturan, Yusuf Kohar: Ya Sudahlah
Apakah ada indikasi pemakzulan?
Budiman mengamininya.
"Kalau angket itu kan bisa mengarah ke sana, pemakzulan, seperti di Garut, tetapi kesalahannya kan beda. Ini administratif dan plt lain pun melakukan itu. Kalau darurat betul, baru hak angket," kata Budiman. (romi rinando/beni yulianto)