Mempertahankan Kearifan Lokal Melalui Kopi Gunung Betung
Mempertahankan Kearifan Lokal Melalui Kopi Gunung Betung Provinsi Lampung
Penulis: Gustina Asmara | Editor: taryono
Ketika dia cukup dewasa, ia pun mencoba menjual biji kopi itu di pasaran seraya berdagang buah-buahan. Bukan cuma kopi dari hasil kebunnya saja, melainkan kopi-kopi dari petani lain. Sayangnya saat itu, harga biji kopi naik turun.
Bahkan pada tahun 1998, harga kopi pernah anjlok hingga mencapai Rp 2.500 per kilogram (kg) dari semula Rp 17 ribu/kg. Tahun 1998 Indonesia mengalami krisis moneter.
Karena harga anjlok, biji kopi yang dititipkan petani kepada dirinya mencapai 20 ton lebih. Para petani meminta agar biji kopi tersebut bisa dijualkan dengan harga lebih baik. Ia sempat bingung mau diapakan biji kopi tersebut. "Akhirnya saya minta ibu-ibu sekitar untuk mensortir biji-biji kopi itu, dipilih yang berkualitas dan dijual ke industri besar," kata dia.
Namun hal itu tidak bisa bertahan lama, karena harga masih rendah. Sebab, produk yang dijual masih berbentuk biji kopi. Ia akhirnya mendapat ide untuk mengembangkan usaha bubuk kopi. Langkah ini menurut dia, bisa membantu para petani kopi di Sumber Agung.
Ia kemudian membeli mesin giling 1/4 PK serta beberapa alat bantu lainnya untuk merealisasikan usaha itu. Kopi bubuk tersebut kemudian ia beri label "Gunung Betung", sesuai asal tanaman kopi. Usaha bubuk kopi pun dimulai pada 1999. Ia orang pertama dan satu-satunya yang memproduksi bubuk kopi di Sumber Agung kala itu.
"Saya pasarkan kopi bubuk tersebut di Pasar Wayhalim. Namun saat itu cuma laku 2-3 kg saja. Namun saya terus berusaha memasarkan kopi ini. Hingga akhirnya sedikit demi sedikit penjualan naik. Sampai pernah terjual hingga 250 kg/bulan di tahun 2000," cerita ayah dua anak ini.
Keberhasilan penjualan ini secara langsung berdampak pada petani di sana. Biji kopi petani jadi bisa dia tampung dan olah di UKM Kopi Bubuk Gunung Betung. Para petani pun senang, karena biji kopi ada yang membelinya. Sehingga ada kepastian pasar untuk biji kopi ini.
Agar produksi bubuk kopi semakin meningkat, Rasman pun mengurus izin ke dinas kesehatan (diskes). Untuk memiliki izin dari dinas kesehatan ternyata tidak sembarangan.
Kualitas produksi harus benar-benar terjamin. Rasman berusaha memenuhi seluruh persyaratan untuk mendapatkan izin tersebut, meski dia hanya UKM.
Tak berapa lama, ia pun berhasil mendapatkan izin tersebut. Bagi Rasman, menjaga kualitas adalah hal terpenting. Karena itu, sejak mendapatkan izin dari diskes tersebut sampai hari ini, ia selalu menjaga kualitas dan rasa kopinya.
Selain mengurus izin diskes, ia pun mengurus hak paten Kopi Bubuk Gunung Betung di tahun 2008. Karena telah memiliki semua perizinan, pengurusan hak paten tidak sulit.
"Apalagi namanya Gunung Betung, yang memang tempat asal kopi ini dan memang kita warga kaki Gunung Betung. Jadi pengurusannya sangat mudah. Bahkan dikasih gratis, dibantu gubernur saat itu," kata dia.
Setelah memiliki semua izin, penjualan kopi Gunung Betung pun semakin bagus. Penjualan bisa mencapai 2-3 kuintal per bulannya. Keberhasilan ini tentu saja tidak hanya dirasakan dirinya, tapi juga petani di sekitar Sumber Agung. Biji kopi petani semakin banyak bisa ditampung di UKM Kopi Bubuk Gunung Betung.
Ia pun memberdayakan masyarakat sekitar untuk membantu dalam proses produksi kopi bubuk ini. Di tahun 2000 ada sekitar 6 orang tenaga kerja tetap dan 12 orang buruh harian. Tenaga kerja ini terus bertambah hingga mencapai 30 orang lebih.
Pada tahun 2004, produksi pernah mencapai 1.200 kg/bulan. Di tahun itu pula, ia mendapatkan penghargaan dari kementerian perindustrian. Ia menjadi satu-satunya UKM di Lampung yang mendapatkan penghargaan dari kementerian.