APJII Lampung Tolak Kebijakan DNI Pemerintah

Pemerintah baru saja mengeluarkan paket kebijakan baru melalui Kebijakan Ekonomi XVI tentang dibukanya 54 bidang usaha dari Daftar Negatif Investasi

Penulis: Bayu Saputra | Editor: Reny Fitriani
Ist
APJII Lampung 

Laporan Reporter Tribun Lampung Bayu Saputra

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Pemerintah baru saja mengeluarkan paket kebijakan baru melalui Kebijakan Ekonomi XVI tentang dibukanya 54 bidang usaha dari Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dari 54 bidang usaha itu menurut Isan Supriyadi selaku Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Lampung dalam rilis yang diterima Tribun Lampung, Sabtu (24/11) bahwa sangat bahaya adanya DNI itu.

Dari 54 bidang usaha itu 25 di antaranya terbuka untuk asing 100 persen.

Dari sektor Menkominfo ada 8 bidang usaha yang masuk ke dalam 25 bidang usaha yang 100 persen dibuka untuk asing.

Adapun 8 bidang usaha itu diantaranya jasa sistem komunikasi data, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap.

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bergerak, penyelenggaraan jasa telekomunikasi layanan content.

Lalu pusat layanan informasi atau call center dan jasa nilai tambah telepon lainnya.

Jasa akses internet, jasa internet telepon untuk kepentingan publik, jasa interkoneksi internet (NAP) dan jasa multimedia lainnya.

"Dimana mayoritas pelaku usaha di ke 8 bidang usaha tersebut adalah seluruhnya anggota APJII," katanya

Melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu APJII keberatan dengan keputusan tersebut.

Karena APJII tidak pernah dilibatkan dalam diskusi apapun terkait relaksasi DNI ini.

“Relaksasi ini memiliki beberapa kelemahan dari beberapa sudut pandang setidaknya terkait kedaulatan digital bangsa dan perlindungan bagi pelaku usaha lokal khususnya tingkat kecil dan
menengah”, ujarnya

Ditambahkan oleh Sekjen APJII, Henri Kasyfi Soemartono memang relaksasi DNI ini akan mengundang investasi luar negeri ke pelaku usaha terkait.

Namun itu hanya akan memberikan manfaat kepada segelintir pelaku usaha khususnya yang berskala besar.

Sedangkan yang lain atau sekitar 400an pelaku usaha lainnya akan tergilas habis, oleh segelintir pelaku usaha tersebut.

Mereka semakin mendapatkan empowerment dari investasi asing ini. Sehingga memiliki potensi untuk membunuh pelaku usaha di sektor ini yang berskala UKM.

Apalagi sebagian besar anggota APJII adalah UKM, belum lagi kalo bicara mengenai ancaman beberapa perusahan asing yang mempunyai konsep
global ISP.

Tanpa bekerjasama dengan ISP lokal, dengan relaksasi DNI ini konsep Global ISP ini semakin dimudahkan.

Dan ini tentu saja tidak baik bagi kelangsungan bisnis mayoritas dr 450 ISP Indonesia.

Ketua Umum APJII Jamalul Izza mengatakan jika jasa interkoneksi internet (NAP) diperbolehkan dimiliki 100 persen oleh asing maka itu sama saja menyerahkan gerbang perbatasan digital kepada pihak asing.

"Bayangkan apabila kita menyerahkan gerbang perbatasan konvensional kita untuk dikelola 100 persen oleh asing, apa jadinya negara kita ini," katanya

Apalagi ancaman keamanan negara dan kedaulatan siber jika kebijakan itu benar diterapkan.

Tidak hanya leluasa memantau segala informasi yang bersifat digital, tetapi juga aset-aset siber yang krusial milik negara seperti infrastruktur jaringan telekomunikasi, transportasi, satelit, dan listrik, semuanya akan dimonitoring asing.

Sebelumnya, pemerintah berencana akan melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).

Salah satu poin pembahasan yang akan direvisi adalah pengklasifikasi penempatan data center di Indonesia.

Rencana ini juga ditentang oleh APJII dan organisasi internet lainnya, seperti MASTEL, FTII, IDPRO, ABDI, dan
lain sebagainya.

Jelas hal ini sama saja melemahkan kedaulatan siber tanah air.
Jamal pun kembali mengungkapkan terkait dengan relaksasi kebijakan ekonomi baru itu.

Menurutnya, relaksasi kebijakan itu seakan muncul begitu saja tanpa ada diskusi dengan para pemangku
kepentingan.

APJII sebagai organisasi internet terbesar di Indonesia, tidak dilibatkan dalam proses rencana pengambilan keputusan ini.

“APJII tidak pernah dilibatkan dalam proses keluarnya relaksasi kebijakan tersebut,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan
alasan mengapa mengeluarkan kebijakan relaksasi DNI itu.

Salah satu di antaranya adalah evaluasi pemerintah terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 tahun 2016 tentang DNI.

Dari hasil evaluasi itu, beberapa bidang usaha masih belum menunjukan ketertarikan investor untuk masuk.

Meski sudah boleh dibuka untuk asing. Maka itu, munculah kebijakan relaksasi DNI tersebut.

APJII, kata Jamal, memahami apa yang menjadi dasar keputusan pemerintah melalui relaksasi  kebijakan tersebut.

Namun seyogyanya pemerintah juga harus memikirkan nasib mayoritas pelaku usaha lokal juga aspek kedaulatan digital merah putih.(*/byu)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved