KPK Ungkap Nilai Uang Korupsi Zainudin Hasan Rp 106 Miliar: Saya Seperti Mau Dirampok Siang Bolong
KPK Ungkap Nilai Uang Korupsi Zainudin Hasan Rp 106 Miliar: Saya Seperti Mau Dirampok Siang Bolong
KPK Ungkap Nilai Uang Korupsi Zainudin Hasan Rp 106 Miliar: Saya Seperti Mau Dirampok Siang Bolong
BANDAR LAMPUNG, TRIBUN - Sidang perdana Bupati nonaktif Lampung Selatan, Zainudin Hasan, memunculkan kejutan. Adik kandung Ketua MPR Zulkifli Hasan itu, disebut turut menggerogoti Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikucurkan pemerintah pusat. Nilai uang yang diraup berkisar Rp 27 miliar.
Total nilai dugaan korupsi Zainudin mencapai Rp 106 miliar.
Terdiri dari fee proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Lamsel senilai Rp 72 miliar, gratifikasi Rp 7 miliar terkait eksploitasi hutan untuk tambang batubara di Kalimantan, dan meraup untung dari proyek DAK senilai 27 miliar.
• Deretan Mobil Mewah Zainudin Hasan Diduga dari Hasil Suap: Mercy Hingga Vellfire
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Subari Kurniawan, mengungkapkan, Zainudin turut menggarap proyek yang bersumber dari DAK Lamsel tahun 2017 dan 2018.
Modusnya, perusahaan Zainudin Hasan, yang dikelola oleh orang kepercayaan, turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan proyek pekerjaan.
"Setelah menjabat sebagai Bupati Lamsel tahun 2016, terdakwa (Zainudin) memerintahkan Boby Zulhaidir dan Tajrian Noor untuk mendirikan perusahaan PT Krakatau Karya Indonesia (PT KKI) yang bergerak di bidang usaha Asphalt Mixing Plant (AMP)," kata Subari dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Tanjungkarang, Senin (17/12).
Pada Maret-April 2017, Zainudin memerintahkan Boby untuk berkoordinasi dengan Hermasyah Hamidi, saat itu Kepala Dinas PUPR Lamsel, untuk melakukan lelang.
"Kemudian Herman digantikan Anjar Asmara, maka terdakwa pun meminta Anjar agar sisa proyek yang berasal dari DAK Tahun Anggaran 2017 sekitar Rp 38 miliar dikerjakan Boby," ucap Subari.
Anjar pun mengatur 12 pekerjaan proyek untuk dikerjakan Boby. "Boby meminjam 12 nama perusahaan untuk melaksanakan proyek ini dengan komitmen pinjaman 1 persen," paparnya.
Usai pengerjaan proyek DAK 2017, Zainudin kembali meminta jatah pekerjaan di lingkungan Kabupaten Lamsel yang dibiayai DAK pada 2018 kepada Anjar Asmara.
"Terdakwa mendapat 15 proyek pekerjaan dengan nilai anggaran Rp 78 miliar. Kemudian proyek ini dikerjakan Boby dengan meminjam 15 bendera perusahaan," sebutnya.
Menurut Subari, perbuatan Zainudin mengikutkan PT KKI yang dikelola Boby Zulhaidir maka secara tidak langsung memperoleh pekerjaan yang bersumber dari biaya DAK.
Keuntungan dari proyek DAK tersebut sebesar Rp 27 miliar.
"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 12 huruf i UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP," kata Subari.
Fee Proyek
Sementara JPU Wawan Yulianto mengatakan, Zainudin telah memperkaya diri sebesar Rp 72 miliar terkait fee proyek di Dinas PUPR Lamsel.
Hal itu dilakukan Zainudin bersama-sama dengan mantan Kepala Dinas PUPR Anjar Asmara dan anggota DPRD Lampung Agus Bhakti Nugro.
"Mulai Desember 2017 sampai Juni 2018 telah melakukan kejahatan dengan memperkaya diri sebesar Rp 72 miliar," kata Wawan membacakan surat dakwaan dalam persidangan.
Wawan merincikan aliran dana Rp 72 miliar didapat dari pengerjaan proyek tahun 2016 hingga 2018. "Dari 2016 hingga 2017 terdakwa meminta komitmen fee kepada Hermansyah Hamidi (mantan Kadis PUPR) melalui Agus BN. Kemudian Hermansyah membuat tim untuk mengatur proyek tersebut," katanya.
Pada akhir 2017, jabatan Kepala Dinas PUPR diisi oleh Anjar Asmara. Zainudin pun mengarahkan Anjar bahwa rekanan yang mau proyek harus menyetorkan komitmen fee 21 persen.
Sebesar 15 persen untuk Zainudin yang diserahkan kepada Agus BN, dan sisanya untuk operasional.
Adapun hasil komitmen fee tahun 2016, Zainudin mendapat Rp 26 miliar dari Kabid Pengairan Dinas PUPR Lamsel Syahroni, dan Rp 9 miliar dari Ahmad Bastian.
Tahun 2017 dapat Rp 23 miliar dari Syahroni, dan Rp 5 miliar dari Rusman Effendi. Tahun 2018 mendapat Rp 8 miliar dari Anjar Asmara.
"Perbuatan diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 huruf i dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pencucian uang

Selain itu, Zainudin dijerat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena sembunyikan asal usul harta kekayaan yang diperoleh selama menjabat Bupati Lamsel.
KPU KPK, Hendra Eka Saputra, menyebutkan, selama menjabat tahun 2016 hingga 2018 Zainudin telah menerima suap, gratifikasi, dan pendapatan tidak semestinya sebesar Rp 106 miliar.
"Yang diketahui atau patut dapat diduganya merupakan hasil tindak pidana korupsi," ungkap Hendra dalam persidangan.
Hendra menyebutkan Zainudin berusaha menyamarkan asal-usul harta kekayaan dengan menggunakan nama orang lain.
Antara lain, menempatkan atau mentransferkan uang dengan menggunakan rekening milik orang lain.
"Penempatan uang ini di rekening milik Gatoet Soeseno di Bank Mandiri, dalam kurun waktu Februari 2016 hingga Juli 2018," ujarnya.
Kemudian gratifikasi yang diterima Zainudin sebesar Rp 100 juta per bulan dari PT Baramega Citra Mulia, disamarkan seolah-olah sebagai gaji komisaris.
Total Zainudin menerima Rp 3 miliar dan secara bertahap ditransferkan ke rekening Mandiri atas nama Sudarman yang merupakan karyawan Zainudin.
Selain itu, penempatan dan membelanjakan atau membayarkan untuk pembelian kendaraan bermotor dengan menggunakan rekening milik orang lain.
"Terdakwa juga menggunakan rekening Sudarman untuk menerima gratifikasi dari PT Citra Lestari Persada dengan jumlah Rp 4 miliar, untuk selanjutnya dibayarkan untuk pembelian kendaraan bermotor," ujarnya.
Kendaraan bermotor yang dimaksud yakni, dua unit New Xpander, Mitsubishi All New Pajero Sport Dakar, Mercedes Benz CLA 200 AMG, motor Harley Davidson, dan pembayaran uang muka Toyota Vellfire.
Keberatan
Usai jaksa membacakan dakwaan, Zainudin sempat mengajukan protes. Ia merasa isi dakwaan tidak sesuai fakta.
Setelah sidang berakhir, Zainudin kembali mengungkapkan keberatannya atas dakwaaan tersebut, kepada awak media. Ia tak terima jaksa menggabungkan perolehan harta sebelum dirinya menjabat Bupati Lamsel.
"Tahun 2010 saya belum jadi bupati. Jadi tidak ada hubungan dengan urusan jabatan saya sebagai bupati.
Sejak kecil, mulai SD, saya sudah usaha dan bisnis, saya gak miskin-miskin amat. Jangalah saya seperti mau dirampok di siang bolong," kata Zainudin.
Ia menyatakan keberatan tersebut akan ia sampaikan saat pembelaan nanti. "Nanti saat pembelaan saja, saya sampaikan," ujarnya.
Sementara Jamhur, Ketua Tim Penasihat Hukum Zainudin, mengatakan, kliennya tidak akan mengajukan eksepsi atas dakwaan yang disampaikan JPU tersebut.
"Kita tidak mengajukan eksepsi. Jadi sidang pekan depan langsung materi pemeriksaan saksi-saksi. Soal keberatan akan disampaikan dalam pembelaan," kata dia.
Pantauan Tribun, seusai sidang Zainudin langsung kembali ke Lapas Rajabasa dengan menumpangi Toyota Avanza Hitam pelat merah BE 2059 BZ.
Zainudin mendapat pengawalan ketat dari personel Brimob bersenjata lengkap.
Kendaran antiteror milik Gegana juga terlihat ikut mengawal kendaraan yang ditumpangi Zainudin menuju Lapas Rajabasa.
Suap Terbesar

Sementara itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyebutkan nilai suap dan gratifikasi Zainudin tergolong cukup besar untuk kategori kepala daerah.
Bahkan, termasuk yang terbesar dibandingkan ratusan kasus korupsi kepala daerah yang pernah dibongkar korupsi.
"Ada sejumlah kasus suap dan gratifikasi yang pernah dibongkar yang nilainya juga lebih dari Rp 100 miliar, baik suap, gratifikasi, ataupun TPPU.
Namun, untuk kepala daerah, nilai ini tergolong cukup besar di antara kasus-kasus yang pernah diproses KPK," kata Febri via pesan singkat, Senin.
Febri mengungkapkan, penanganan perkara Zainudin merupakan contoh hasil pengembangan dari OTT.
Dari nilai dugaan korupsi semula Rp 600 juta lalu berkembang menjadi Rp 106 miliar.
"Peningkatan signifikan jumlah hasil dugaan korupsi seperti inilah yang sering kami sampaikan.
Dalam sejumlah kasus, OTT merupakan pintu masuk untuk membongkar korupsi-korupsi yang jauh lebih besar.
Dalam kasus ini misalnya, dari barang bukti awal Rp 600 juta berkembang menjadi Rp 106 miliar," ujarnya.
Febri pun berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi kepala daerah lain, khususnya di Lampung agar tidak menerima suap dan gratifikasi selama menjabat.
"Jika ada pemberian terhadap kepala daerah yang tidak dapat ditolak misalnya, segera dilaporkan ke KPK paling lambat 30 hari kerja. Sehingga dapat terhindar dari pidana pasal gratifikasi di," kata Febri.(nif/rri)