Tsunami Pesisir Lampung
BMKG Lampung: Bulan Purnama Akan Picu Kenaikan Air Laut pada 23-26 Desember 2018
Masyarakat Lampung diimbau untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi pada 23-26 Desember 2018.
Penulis: Daniel Tri Hardanto | Editor: Daniel Tri Hardanto
BMKG Lampung: Bulan Purnama Akan Picu Kenaikan Air Laut pada 23-26 Desember 2018
Laporan Reporter Tribun Lampung Daniel Tri Hardanto
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Masyarakat Lampung diimbau untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi pada 23-26 Desember 2018.
Itu setelah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Maritim Lampung merilis peringatan dini adanya peningkatan tinggi muka laut di Teluk Lampung.
Dalam Surat Peringatan Dini dengan Nomor ME.301/023/PD/PJG/XII/2018 itu, BMKG mengimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai kenaikan tinggi muka laut di Teluk Lampung pada 23-26 Desember 2018.
• UPDATE TSUNAMI LAMPUNG - Kisah Petugas Basarnas Lampung Evakuasi Korban di Desa Kunjir
"Ketinggian muka laut selama empat hari tersebut bervariasi, mulai dari 1,5 meter hingga 1,7 meter. Ketinggian gelombang pasang dapat lebih tinggi jika terdapat adanya penyebab lainnya," kata Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Lampung Sugiono, Minggu, 23 Desember 2018.
Hal tersebut, kata Sugiono, berdasarkan pada posisi bulan yang mencapai jarak terdekatnya pada 24 Desember 2018 atau istilahnya Perigee.
Kemudian, kata Sugiono, bulan purnama yang menyebabkan pasang laut purnama atau spring tide.
"Untuk itu, kami mengimbau kepada masyarakat agar sementara waktu tidak beraktivitas di sekitar pesisir pantai. Masyarakat juga diharap tidak terpengaruh dengan isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tetap waspada dan pantau selalu perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi," tandas Sugiono.
Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Maritim Lampung Sugiono memastikan keaslian surat peringatan tersebut.
"Benar, itu surat peringatan yang kami keluarkan. Tetapi, peringatan dini ini tidak berdampak seperti (tsunami) kemarin," kata Sugiono, Minggu malam.
Surat peringatan dini tersebut, lanjut Sugiono, merupakan pola siklus normal astronomi.
Sehingga, ada peningkatan air pasang maksimal dan surut maksimal pada periode jam tertentu.
Sementara, tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12/2018), lantaran ada erupsi Gunung Anak Krakatau.
"Masyarakat tidak perlu khawatir karena (peningkatan air pasang) tidak berdampak (tsunami)," tutur Sugiono.
BMKG Meteorologi Maritim Lampung mengeluarkan peringatan dini melalui surat bernomor ME.301/023/PD/PJG/XII/2018.
• UPDATE TSUNAMI LAMPUNG - Warga GMP Kisahkan Detik-detik Tsunami Terjang Cottage Alau-Alau Laguna
Surat tersebut ditandatangani Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Lampung, Sugiono.
BMKG, kata Sugiono, mengimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai kenaikan tinggi muka laut di Teluk Lampung pada 23 Desember 2018 hingga 26 Desember 2018.
Ketinggian muka air laut akan mengalami kenaikan setinggi 1,5 meter hingga 1,7 meter.
Berikut, rinciannya:
1. Tanggal 23 Desember 2018 mulai pukul 18.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB dengan ketinggian pasang maksimum dapat mencapai 1,6 meter.
2. Tanggal 24 Desember 2018 mulai pukul 19.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB dengan ketinggian pasang maksimum dapat mencapai 1,7 meter.
3. Tanggal 25 Desember 2018 mulai pukul 20.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB dengan ketinggian pasang maksimum dapat mencapai 1,6 meter.
4. Tanggal 26 Desember 2018 mulai pukul 21.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB dengan ketinggian pasang maksimum dapat mencapai 1,5 meter.
Ketinggian air pasang, menurut Sugiono, berdasarkan pada posisi bulan, yang mencapai jarak terdekatnya pada 24 Desember 2018 atau istilahnya Perigee.
Kemudian, kata Sugiono, bulan purnama yang menyebabkan pasang laut purnama atau spring tide.
Gunung Anak Krakatau
Aktivitas Gunung Anak Krakatau kini menjadi pusat perhatian banyak orang.
Ini menyusul terjadinya bencana tsunami di wilayah Lampung dan Banten.
Sebelumnya Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati menyebut tsunami terjadi karena cuaca buruk dan erupsi Gunung Anak Krakatau.
Lalu bagaimana dengan pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)?
Berikut penjelasannya mengenai aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau.
Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pascaerupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.
• UPDATE TSUNAMI LAMPUNG - BMKG Sebelumnya Sudah Beri Peringatan Gelombang Tinggi
Letusan yang pernah terjadi tahun ini, precursor letusan tahun 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa Hembusan dan Low Frekuensi pada tanggal 18-19 Juni 2018.
Jumlah gempa embusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 gunung tersebut meletus.
Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah.
Tetapi, sejak 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Anak Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
"Aktivitas terkini, terakhir pada 22 Desember 2018, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah. Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm)," tulis keterangan pers Kementerian ESDM dalam laman resminya, Minggu, 23 Desember 2018.
Pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 21.03 WIB, terjadi letusan. Selang beberapa lama, ada info tsunami.
"Pertanyaannya, apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami," jelas PVMBG.
Kementerian ESDM melalui PVMBG mencatat, pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.
Kedua, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.
"Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut. Kemudian, untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograf di pos pengamatan gunung api," demikian tertera dalam laporan itu.
• Ahli BPPT Sebut Tsunami Pesisir Lampung Akibat Erupsi Gunung Anak Krakatau
"Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dengan tsunami," imbuhnya.
Potensi Bencana Erupsi Gunung Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km merupakan kawasan rawan bencana.
Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktifitas G.
Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi.
Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
"Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada).
Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Krakatau dalam radius 2 km dari Kawah," sebut keterangan tersebut.
Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung harap tenang dan jangan memercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat. (*)