Perempuan Indramayu Itu seperti Mangga
Mendengar reputasi mangga yang enak sampai cerita eksploitasi perempuan di sana, sudah bukan hal baru lagi bagi kami.
Jika dibaca dengan menggunakan teori konstruksi sosial, bahasa punya peranan penting dalam proses objektivikasi terhadap tanda-tanda.
Bahasa adalah representasi simbolis yang mewakili kehidupan sehari-hari.
Jadi, perumpamaan perempuan seperti mangga Indramayu oleh narasumber tersebut bukan kebetulan belaka semata karena di Indramayu banyak mangga.
Jika dihubungkan dengan eksploitasi, tubuh perempuan dihargai tidak lebih dari komoditas perdagangan "sekelas" mangga.
Mau dijual Rp 50.000 atau Rp 80 juta, tetap tubuh perempuan adalah barang yang didagangkan.
Dan, berbicara tentang barang dagangan, negara kita sejatinya masih "terjajah" dan kita tanpa disadari meletakkan diri sebagai bangsa terjajah sampai ke akar-akarnya.
Kali ini, bentuk penjajahan itu tidak lagi melibatkan senjata tetapi jauh lebih terselubung sampai nyaris tidak terasa.
Yang diperebutkan apa? Kapital alias modal.
Semua hal diarahkan untuk memberikan keuntungan maksimal pada pemilik modal.
Dari cerita yang saya dengar ketika berada dari Batam, Ambon, sampai Papua, demikianlah nasib perempuan yang dieksploitasi secara seksual sebagai pekerja seks.
Ketika masih muda dijual di Ibu Kota atau wilayah perbatasan seperti Batam.
Semakin tua dan tidak lagi mulus kulitnya, dilempar ke arah semakin ke Timur, dengan harga yang lebih murah.
Begitu juga mangga. Yang terbaik dijual ke supermarket sebagai barang dagangan kualitas ekspor dan ditempeli stiker merek terbaik.
Begitu keriput dan tidak segar lagi, mangga ini dibuang ke pasar yang lebih murah atau dipotong-potong supaya tidak tampak kulitnya.
Di Ambon pada salah satu kunjungan ke Batumerah, saya banyak bertemu dengan teman-teman pekerja seks dari Jawa.