Ratusan Jenderal dan Kolonel TNI Menganggur, Masuk Kantor Hanya untuk Apel Harian
Ratusan Jenderal dan Kolonel TNI Menganggur, Masuk Kantor Hanya untuk mengikuti apel harian
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Ratusan Jenderal dan kolonel TNI tanpa jabatan alisa menganggur menjadi kabar terpopuler pekan ini.
Jenderal dan kolonel TNI datang ke kantor hanya untuk mengikuti apel harian, tanpa beban dan tanggung jawab pekerjaan.
Atas kondisi tersebut, muncul wanana untuk membuka puluhan jabatan baru guna menampung mereka, termasuk di lembaga sipil.
Anggota Komisi I DPR, Mohamad Arwani Thomafi, menyebut persoalan kelebihan perwira harus diselesaikan di dalam internal TNI.
Menurutnya kondisi ini tak bisa menjadi alasan pembenar agar militer berbondong-bondong keluar barak dan kembali bekerja di ranah sipil.
• Mulai Rp 14-an Juta, Harga Motor Matik Februari 2019 Berbagai Merek
• Di Mata Najwa Trans7, Yang Gaji Kamu Siapa Bikin Budiman Sudjatmiko dan Nasir Djamil Ditepuki
• Chord Gitar Lagu Kangen Milik Dewa 19, Buat Iringi Lirik Lagu Kangen yang Tak Lekang Waktu
• Pasien Wanita Tua Dipaksa Turun dari Ambulans di Tengah Jalan Saat Hendak ke RS, Anak Minta Maaf
• Wagub Sumut Musa Rajekshah 10 Jam Diperiksa Polisi, Terkait Kasus Alih Fungsi Hutan
"Ada jabatan yang terbatas, itu kami pahami, tapi tidak perlu revisi undang-undang untuk memperbolehkan TNI duduk di jabatan sipil," ujar Arwani, Rabu (6/2/2018), dilansir BBC Indonesia.
"Langkah seperti itu akan jadi perdebatan di masyarakat dan TNIakan mundur ke belakang."
Hingga akhir 2018, setidaknya 150 perwira berbintang dan 500 kolonel tanpa jabatan.
Perwira itu tersebar di matra darat, laut, dan udara.
Padahal merujuk UU 32/2004 tentang TNI, selain bekerja di internal militer, hanya terdapat 10 lembaga sipil yang dapat menyediakan jabatan bagi para perwira tersebut.
Pakar militer, Salim Said, menganggap jumlah perwira dan jabatan yang tidak seimbang disebabkan kekacauan manajemen organisasi TNI.
Ia mengatakan persoalan ini tidak pernah tuntas sejak Orde Baru.
"Terlalu banyak perwira yang belum pensiun, tapi tidak ada jabatan."
"Harusnya ada perencanaan, kita sebenarnya perlu berapa jenderal, laksamana, dan marsekal," kata Salim.
Menurut Salim, nuansa dwifungsi akan begitu kentara jika permasalahan kelebihan personel TNI diselesaikan dengan menebar perwira ke lembaga sipil.
Salim khawatir banyak pejabat sipil akan kehilangan masa depan karena kedudukan tertentu dikhususkan bagi tentara.
"Dulu Soeharto menabrak kesempatan tokoh sipil, terutama jabatan duta besar. Banyak orang Kementerian Luar Negeri mengeluh karena posisi mereka diambil para perwira militer," kata Salim.
Tanggapan Juru Bicara TNI
Juru bicara TNI, Brigjen Sisriadi, menyangkal keterlibatan mereka di lembaga sipil dapat mengulang rekam jejak dwifungsi ABRIyang dianggap militeristik oleh pegiat demokrasi.
"Ada kementerian tertentu yang menggunakan tenaga perwiraTNI, mereka keuntungannya, yaitu militansi, tapi bukan militerisme."
"Dwifungsi menempatkan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - sebutan TNI saat itu) sebagai kekuatan pertahanan, sosial, dan politik."
"Tapi politik sudah kami hindari sejak reformasi. Mencium bau politik saja kami sudah sakit gigi," ucapnya.
Sisriadi mengakui, pemberian jabatan sipil untuk perwira aktif TNIbutuh proses panjang.
Ia mengatakan kebijakan itu perlu bergulir ke DPR dengan revisi UU TNI.
Solusi terbaik untuk mempekerjakan kembali para perwira nirjabatan ini, kata Sisriadi, adalah pendirian lembaga lintas matra bernama Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) di tiga zona wilayah Indonesia.
Pembentukan badan komando ini digagas tahun 2010, tapi urung terealisasi karena anggaran pemerintah yang terbatas.
Sisriadi mengatakan rencana itu kini telah disetujui Presiden Joko Widodo dan akan segera bergulir.
"Kalau sudah ada tiga Kowilhan, akan ada 60 jabatan jenderal baru dan 240 kolonel bisa terserap," kata Sisriadi.
Lebih dari itu, tanpa keterlibatan di ranah sipil pun Sisriadi mengklaim kerugian anggaran akibat organisasi TNI yang terlampau gemuk akan tuntas setidaknya tahun 2023.
Ia menyebut beleid itu menyesuaikan masa kerja pangkat tertentu dengan usia pensiun perwira yang berubah sejak pengesahan UUTNI.
"Revisi undang-undang butuh waktu. Ketika selesai, mungkin sudah tidak ada lagi persoalan kelebihan perwira."
"Setelah perubahan masa pangkat, secara alamiah 3-5 tahun ke depan jumlah perwira akan kembali normal," ujarnya.
Lebih dekat dengan Tribun Lampung, subscribe channel video di bawah ini: