Tribun Bandar Lampung
Warga Lega atas Hasil Rapat Pelepasan Lahan Way Dadi
Warga yang menempati lahan Way Dadi, Sukarame, Bandar Lampung, lega atas hasil rapat terkait pelepasan lahan.
Penulis: Noval Andriansyah | Editor: Yoso Muliawan
LAPORAN REPORTER TRIBUN LAMPUNG NOVAL ANDRIANSYAH
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Warga yang menempati lahan Way Dadi, Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, lega atas hasil rapat terkait pelepasan lahan tersebut. Rapat di Kementerian Dalam Negeri, pertengahan Januari 2019, memutuskan pelepasan lahan Way Dadi masih harus menunggu adanya aturan dan payung hukum yang jelas.
Dalam rapat, hadir Direktur Jenderal Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Eko Subowo dan anggota Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman. Kemudian, Ketua DPRD Lampung Dedi Afrizal, Penjabat Sekretaris Provinsi Lampung Hamartoni Ahadis, serta Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Bayana.
Darwis selaku Dewan Penasihat Kelompok Masyarakat Way Dadi menyatakan, warga masih menunggu penyelesaian pelepasan lahan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
"Intinya, warga tidak mau membayar harga tanah sesuai NJOP (nilai jual objek pajak), apalagi di atas NJOP. Warga minta pelepasan lahan Way Dadi secara gratis, dengan program Tora (Tanah Objek Reforma Agraria) atau Reforma Agraria. Kalaupun ada biaya, warga harus membayar serendah mungkin, sebagaimana dalam UU (undang-undang) status tanah milik negara," jelasnya, Rabu (13/2/2019).
Darwis mengungkapkan, warga sejak awal tidak mengakui hak pengelolaan lahan (HPL) Way Dadi oleh Pemprov Lampung yang terklaim sebagai aset. Warga, papar dia, meminta penghapusan HPL, lalu menyerahkan tanah itu sebagai milik negara dan mengembalikannya lagi kepada warga penggarap.
Pengembalian tersebut, sambung Darwis, sesuai Surat Menteri Dalam Negeri Nomor BTU 350/3-80 Tahun 1980 sebagai alas hak atas tanah.
"Dalam rapat, berkembang bahwa warga dan Pemprov Lampung sepakat tidak menempuh jalur pengadilan atau litigasi. Tapi, mengedepankan musyawarah mufakat atau penyelesaian masalah melalui non-litigasi. Karena itulah, Kemendagri dan anggota Komisi II DPR RI Endro S Yaman mendorong Kementerian ATR menyiapkan regulasi atau merevisi peraturan yang ada sebagai payung hukum untuk penghapusan HPL Way Dadi," tandas Darwis.
Sementara Penjabat Sekretaris Provinsi Lampung Hamartoni Ahadis menyatakan, pemprov siap melepas aset lahan Way Dadi jika memang ada status hukum yang jelas. Selama ini, jelas dia, pemprov terikat dengan aturan, sehingga tidak bisa melepaskan begitu saja lahan Way Dadi.
"Inti dari kesimpulan rapat kemarin, jika warga di Kelurahan Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya menganggap HPL cacat administrasi penerbitannya, maka ada dua pilihan," ujarnya.
Pilihan pertama, papar Hamartoni, pembuktian melalui pengadilan. Kedua, pembatalan atau perevisian oleh Kementerian ATR/BPN karena cacat hukum administrasi berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
"Dengan keluarnya dua pilihan itu, dan sambil menunggu proses penyelesaian, kami (pemprov) diminta tidak melakukan kegiatan apapun di atas tanah tersebut, atau yang disebut status quo," kata Hamartoni.
Ketua DPRD Lampung Dedi Afrizal membenarkan kesimpulan rapat tersebut. Dedi yang ikut dalam rapat menjelaskan, pada prinsipnya, sepanjang ada aturan yang jelas terkait pelepasan lahan Way Dadi, DPRD akan mendukung.
"Kami sudah mencoba menyelesaikan permasalahan lahan Way Dadi itu dengan pelepasan. Di mana, proses dan mekanismenya sudah kami serahkan ke Pemprov Lampung. Tapi ternyata, ada perkembangan lain," ujar Dedi.
Terkait permintaan warga berupa pelepasan lahan Way Dadi secara cuma-cuma, Dedi menyatakan, sampai saat ini belum ada regulasi yang bisa membenarkan langkah tersebut.
"Hal yang memungkinkan adalah dengan ganti rugi, karena sudah banyak bangunan berdiri di sana. Tapi, perkembangan terakhir, masyarakat meminta pelepasan secara gratis. Peraturan untuk itu kan belum ada. Makanya, Kementerian ATR akan melihat dulu yang ada," tandas Dedi.
Surati Menteri
Warga tiga kelurahan di Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung, sebelumnya telah mengirim surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang, termasuk Presiden Joko Widodo. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sadar dan Tertib Tanah meminta pemerintah membatalkan HPL seluas 120 hektare di Way Dadi milik Pemprov Lampung.
Warga tiga kelurahan itu masing-masing Kelurahan Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya. Ketua Kelompok Masyarakat Sadar dan Tertib Tanah Way Dadi Armin Hadi menjelaskan, pihaknya meminta pemerintah mencabut status lahan Way Dadi sebagai aset pemprov.
"Kami sudah menyurati pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden dan Menteri Agraria. Kami meminta HPL pemprov atas lahan Way Dadi dicabut serta dikembalikan sebagai tanah negara dan dilepaskan kepada masyarakat, sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979. Serta, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor BTU 350/3-80, tertanggal 26 Maret 1980, dan SK Mendagri Nomor 224/DJA/1982, tertanggal 30 November 1982," papar Armin, Kamis (15/11/2018).
Warga, jelas Armin, menolak rencana pemprov untuk menjual lahan yang telah didiami warga sejak tahun 1949.
"Kami, warga Way dadi, merasa diperlakukan tidak adil atas hak-hak tanah kami," tukasnya.
Sementara Pemprov Lampung saat itu menyatakan sedang mempersiapkan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pelepasan lahan Way Dadi.
Kepala Bagian Perlengkapan Biro Aset Sekretariat Provinsi Lampung Saprul Al Hadi menjelaskan, pihaknya merancang buku panduan pelepasan HPL lahan Way Dadi.
"Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi masyarakat agar sertifikat tanah Way Dadi bisa dimiliki. Buku panduan itu akan menjadi pedoman kami (pemprov) dan masyarakat," katanya, Kamis (15/11/2018).
Pihaknya pun menyatakan akan menyosialisasikan draf buku panduan tersebut kepada warga Way Dadi.
"Ada beberapa poin yang akan disampaikan. Di antaranya adalah nilai pembayaran, kewajiban apa saja yang harus dipenuhi dalam pembuatan sertifikat hak milik," ujar Saprul.