Olah Kotoran Sapi Jadi Biogas, Satu Keluarga Petani di Lampung Tengah Tak Lagi Beli Elpiji

Satu keluarga petani di Seputih Banyak, Lampung Tengah, tak lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan gas.

Penulis: syamsiralam | Editor: Yoso Muliawan
Tribun Lampung/Syamsir Alam
GAS DARI KOTORAN SAPI - Tukiman, petani di Kampung SB 8, Kecamatan Seputih Banyak, Lampung Tengah, menunjukkan api kompor dari biogas hasil pengolahan limbah kotoran sapi. 

LAPORAN REPORTER TRIBUN LAMPUNG SYAMSIR ALAM

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, SEPUTIH BANYAK - Empat tahun terakhir, satu keluarga petani di Kampung SB 8, Kecamatan Seputih Banyak, Lampung Tengah, tak lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan gas. Mereka memanfaatkan kotoran hewan ternak sapi sebagai biogas pengganti elpiji.

Adalah Tukiman (50) yang mulai 2015 tidak lagi membeli elpiji untuk keperluan memasak. Sebagai gantinya, ia mengolah kotoran sapi melalui teknologi pengelolaan limbah kotoran sapi. Tukiman mempelajarinya dari Yayasan Rumah Energi.

Untuk menghasilkan energi gas, Tukiman memerlukan 35 kilogram kotoran sapi yang bersumber dari tiga ekor sapi miliknya. Kotoran sapi itu dicampur dengan air, lalu dimasukkan ke alat pengolah atau mixer. Selanjutnya, diproses di dalam inlet atau alat pengaduk kotoran sapi dan air.

"Dengan mesin 4 PK dan 35 kg kotoran sapi, tekanan gas yang diperoleh cukup digunakan untuk memasak selama dua jam nonstop," tutur Tukiman kepada awak Tribun Lampung, Jumat (22/2/2019).

Hasil dari produksi gas tersebut, jelas Tukiman, tidak berbahaya bagi rumah tangga. Sebab, gas tersebut merupakan gas bertekanan rendah dan tidak mudah meledak.

Proses produksi dari kotoran sapi menjadi gas untuk pertama kali membutuhkan waktu tujuh hari berupa fermentasi mixing menjadi gas.

"Karena saya sudah lama (empat tahun produksi sejak 2015), maka kandungan gas yang masih ada di penampungan tergantikan dengan produksi yang baru," katanya.

Dalam sehari, ungkap Tukiman, proses produksi kotoran sapi menjadi gas hanya satu kali, yakni pada sore hari.

Tak hanya menjadi energi panas, pengolahan biogas dari kotoran sapi itu bisa juga menjadi energi listrik.

"Tapi, karena daya tampung mesin produksi saya kecil, jadi (daya yang dihasilkan) hanya bisa digunakan untuk satu lampu di ruang depan rumah. Saya memanfaatkan daya listrik itu pas mati lampu saja," ujarnya.

Hasil pengolahan kotoran sapi dengan proses yang sama, beber Tukiman, tidak hanya menjadi energi gas dan listrik. Melainkan juga bisa menjadi pupuk organik padat dan cair dengan hasil yang baik bagi tanaman.

"Sisa dari fermentasi kotoran sapi menjadi gas, bisa menjadi pupuk kompos. Ampas dari proses itu juga saya saring dan bisa menjadi pupuk cair sebagai penyubur tanah," katanya.

Melalui pupuk tersebut, di lahan seluas 50x16 meter persegi di areal rumahnya, Tukiman menanam berbagai tumbuhan organik. Seperti singkong, ubi rambat, jagung, jahe merah, bayam, dan buah naga.

Ririn dari Rumah Energi menjelaskan, program biogas Biru bertujuan memanfaatkan limbah menjadi sumber energi dan pendapatan petani. Di Kampung SB 8, Seputih Banyak, Lamteng, setidaknya sudah 16 rumah yang memanfaatkan program tersebut.

"Program ini kami berikan dengan sistem pemasangan alat reaktor berstandar SNI (Standar Nasional Indonesia) melalui tim kami. Setelah itu, user (pengguna) kami berikan pelatihan selama sebulan sampai mengerti teknis penggunaannya," terang Ririn.

Ia mengungkapkan, program Biru sudah berjalan di hampir seluruh kabupaten/kota di Lampung. Adapun Rumah Energi telah beroperasi di delapan provinsi di Indonesia. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved