Kisah Sukses 3 Desainer Lampung, Rekrut Ratusan Ibu Rumah Tangga
Masih banyaknya ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dari penghasilan suami mengetuk hati tiga desainer Lampung.
Penulis: Jelita Dini Kinanti | Editor: Daniel Tri Hardanto
Kisah Sukses 3 Desainer Lampung, Rekrut Ratusan Ibu Rumah Tangga
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Masih banyaknya ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dari penghasilan suami mengetuk hati tiga desainer Lampung, yaitu Layla Ninda, Aan Ibrahim, dan Dinna Rosalina.
Mereka merekrut puluhan hingga ratusan ibu rumah tangga untuk membantu penyelesaian desain pakaian hingga meraup penghasilan sendiri.
Pakaian sulam usus dan gaun kombinasi sulam usus dan tapis terpajang rapi di sisi kanan ruangan Ninda Tapis di Jalan Jenderal Sudirman, Bandar Lampung, Selasa (11/6/2019).
Di sebelah kiri berjejer tapis dan kain maduaro koleksi desain Layla Ninda. Ke dalam lagi, ada aneka aksesori Lampung dan gaun sulam usus.
Semua yang terpajang merupakan hasil desain Layla Ninda yang kemudian dikerjakan para perajin.
Ada 800-an perajin dari hampir seluruh wilayah di Lampung yang dipekerjakannya.
"Dari 800-an perajin itu, 90 persennya adalah perempuan yang didominasi ibu rumah tangga. Mereka dapat upah per lembar hasil desain pakaian sesuai motifnya, padat atau ringan," tutur Layla Ninda.
Perajin-perajin tersebut dilatih kepala perajin.
Untuk memperlancar latihan, Layla Ninda tidak segan-segan mengirim bahan dan benang gratis kepada kepala perajin untuk digunakan sebagai bahan latihan para perajin.
• Bidani Kedai Pok Mengan, Desainer Aan Ibrahim Terjun ke Bisnis Kuliner
• 3 Bulan Waktu yang Dibutuhkan Layla Ninda Gembeleng Pengrajin Tapis
Latihan dilakukan hingga perajin mahir. Setelah mahir, perajin akan mengerjakan desain Layla Ninda.
Desain itu tidak disampaikan langsung olehnya kepada perajin, melainkan melalui kepala perajin.
Layla Ninda mulai merekrut perajin sejak 1996 saat membuka Toko Singgah Pay di kawasan Pasar Bambu Kuning.
Ia merekrut perajin dengan tujuan membantu menyelesaikan desain.
Tujuan lainnya karena ingin membantu perekonomian para perempuan, terutama ibu rumah tangga.
Saat awal merekrut, ada perajin yang masih usia sekolah. Anak-anak sekolah bersedia direkrut karena ingin mengisi waktu sepulang sekolah, sekaligus ingin memiliki uang jajan tanpa harus meminta kepada orangtua.
Namun, seiring berjalannya waktu, para perajin didominasi ibu rumah tangga.
"Saya senang dengan banyaknya ibu rumah tangga yang jadi perajin. Itu artinya mereka bisa dapat keterampilan sekaligus penghasilan sendiri, sehingga tidak hanya di rumah saja," ujar Layla Ninda seraya menambahkan ada juga perempuan perajin yang memiliki pekerjaan lain seperti petani.
Selain Toko Singgah Pay, Layla Ninda kemudian memiliki Ninda Tapis, Kaus Lampung, Toko Suvenir Lampung, dan Batik Indonesia.
Ia pun masih memperkerjakan perajin. Hanya Kaos Lampung dan Batik Indonesia ia tidak menggunakan perajin.
Latih di Galeri

Aan Ibrahim mempekerjakan lebih dari 200 perajin yang tersebar di hampir seluruh wilayah Lampung.
Di Lampung Selatan misalnya, ada 50 orang.
Para perajin itu terdiri dari anak putus sekolah hingga ibu rumah tangga.
Sekarang, perajinnya lebih banyak ibu rumah tangga.
Sebab, kebanyakan anak-anak kurang suka dengan pekerjaan membuat desain tapis yang membutuhkan ketelatenan.
Para perajin itu diberi upah Rp 100 ribu-1,5 juta, tergantung banyaknya pekerjaan dan motif kain yang dikerjakan.
Aan mulai merekrut perajin pada 1985 saat ia mulai usaha tapis dengan membuka Galery Aan Ibrahim di Jalan Perintis Kemerdekaan, Tanjungkarang Timur, Bandar Lampung. Jumlah perajin yang direkrut saat itu 70-an orang.
Tujuan Aan merekrut perajin karena ingin membantu perekonomian mereka, sekaligus karena memang membutuhkan perajin untuk membantu pekerjaan.
Untuk kebutuhan tersebut, Aan tidak segan-segan melatih langsung para perajin di galerinya.
Selama melatih perajin, Aan mengaku tidak mengalami kesulitan.
"Mereka memiliki semangat dan kemauan. Saya melatih mereka sampai mahir. Setelah itu, mereka mengerjakan tapis yang desainnya saya buat," kata Aan.
Pada 1986, perajin-perajin itu dilepasnya untuk menjadi koordinator yang melatih perajin di kabupaten tempat tinggal masing-masing sampai mahir.
Namun, Aan tidak memungkiri ada perajin yang mengundurkan diri saat menerima pelatihan dengan alasan capek dan susah.
Ada juga yang mengundurkan diri setelah menjalani pelatihan karena ingin menjual produk hasil desain sendiri.
Terhadap perajin yang seperti itu, Aan tidak marah atau kecewa. Ia justru senang karena berkat pelatihan darinya si perajin memiliki kemauan kuat menjadi pengusaha.
Selain menghadapi perajin yang mengundurkan diri, Aan juga sering menghadapi perajin yang lama mengerjakan desainnya dengan berbagai alasan.
Seperti musim panen, musim orang menikah, ada keluarga yang sakit, dan sebagainya.
Bahkan ada juga yang beralasan sedang mengerjakan desain milik desainer lain.
Kondisi tersebut masih sering dihadapi Aan saat merambah ke sulam usus dan batik pada 1995.
Namun, Aan saat itu sudah mulai menggunakan perajin dari Pulau Jawa.
"Kondisi yang saya hadapi itu menurut saya wajar. Semua desainer pasti mengalaminya. Kondisi itu tidak membuat saya berhenti merekrut perajin, karena saya memang membutuhkan mereka dan saya juga ingin membantu perekonomian mereka," jelas Aan.
• Yustin Ficardo Apresiasi Kreativitas Desainer Lampung Fashion Show 2018
Tak Pandang Usia

Sementara Dinna Rosalina merekrut 80 karyawan untuk membantunya menyelesaikan desain sekaligus melayani pelanggan di Nuo Lambra.
Dari 80 karyawan itu, 72 orang di antaranya perempuan.
Dari yang belum menikah hingga sudah ibu rumah tangga.
Dinna sudah mulai merekrut mereka sejak Nuo Lambra pertama kali dibuka pada 2010.
Awalnya baru satu orang. Lalu pada awal 2011, bertambah lagi satu orang.
Sepanjang 2011, bertambah menjadi 15-20 orang.
Saat direkrut, ada beberapa dari mereka yang belum mahir menyelesaikan desain menjadi kebaya, gaun pengantin, dan baju muslim sesuai yang dijual di Nuo Lambra.
Dinna pun memberikan pelatihan kepada mereka.
Pelatihan awal yang diberikan berupa payet. Setelah itu, berlatih menjahit dan memotong bahan.
Pelatihan diberikan oleh karyawan yang sudah lebih dahulu mahir, namun tetap dalam pengawasan Dinna.
"Soalnya jumlah karyawan banyak, jadi tidak mungkin saya latih satu per satu. Saya minta karyawan yang sudah lebih mahir untuk melatih. Kalau dulu saat karyawan masih 15 orang, saya masih bisa melatih sendiri," kata Dinna.
Dinna tak menampik melatih karyawan bukan pekerjaan mudah.
Itu karena daya tanggap masing-masing karyawan berbeda.
Ada yang cepat tanggap, ada yang relatif lama.
Ada yang satu pekan sudah mahir, ada juga yang belum mahir sama sekali.
Namun, Dinna tidak mempermasalahkannya.
Baginya, yang penting karyawan memiliki semangat tinggi dalam berlatih.
Bahkan ia tidak mempermasalahkan saat ada karyawan mundur dan membuka usaha sendiri ketika sudah berlatih.
Itu karena tujuan melatih bukan hanya membantu di toko, tapi juga supaya mereka memiliki keterampilan yang bisa menjadi bekal meraih penghasilan hingga usia berapa pun.
"Keterampilan tidak memandang usia," ujar Dinna.
"Selama masih memiliki keterampilan, di usia senja pun bisa keterampilan itu bisa digunakan untuk mendapatkan penghasilan. Dengan penghasilan itu, ibu-ibu rumah tangga tidak perlu sepenuhnya bergantung pada penghasilan suami, tetap bisa menyekolahkan anak. Jangan sampai anak-anak mereka putus sekolah," tuturnya. (Tribunlampung.co.id/jelita dini kinanti)