Momen Langka, Jenderal Tito Karnavian Cecar Habis Irjen Boy Rafli Amar
Momen Langka, Jenderal Tito Karnavian Cecar Habis Irjen Boy Rafli Amar
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Kapolri Jenderal Tito Karnavian jadi penguji di sidang doktor Wakalemdiklat Polri, Irjen Boy Rafli Amar di kampus Unpad, Jatinangor Rabu (14/8/2019).
Dalam sidang disertasi itu, Tito berperan sebagai penyanggah disertasi dengan judul Integrasi Manajemen Media Dalam Strategi Humas Polri Sebagai Aktualisasi Promoter.
"Saya datang ke sini bukan sebagai kapolri, tapi sebagai akademisi.
Di sidang, Tito mengajukan hingga lima pertanyaan untuk Boy.
Setiap pertanyaan Tito disertai dengan narasi yang panjang disertai teori pakar.
Satu pertanyaan bikin menohok.
"Apakah saat ini menurut saudara, kita sedang alami demokrasi liberal atau demokrasi Pancasila?" ujar Tito.
• 4 Sosok Jenderal Polri yang Disebut Berpeluang Jadi Kapolri Gantikan Tito Karnavian
• Sindiran Menteri Susi, Soal Pemilik Kapal Selalu Lolos dari Jerat Pidana Dijawab Tito dengan Begini

Pertanyaan itu diawali dengan latar belakang situasi Indonesia selama 10 tahun terakhir di tengah hingar bingar dunia media sosial.
"(Pertanyaan) ini menentukan public support kita mau all out atau setengah-setengah," ujar Tito.
Tito kembali melontarkan pertanyaan menohok.
"Seberapa besar manajemen media dalam membentuk opini publik.
Jor-joran me-menej media hingga opini publik terbentuk lalu imej polri jadi baik atau lebih penting reformasi internal Polri supaya lebih baik, mana yang lebih penting.
Penelitian Kompas sempat menyampaikan bahwa perbaikan Polri karena manajemen medianya, reformasi birokrasinya belum berubah atau belum banyak berubah," ujar Tito.
Pertanyaan Tito selanjutnya pada Boy Rafli Amar, terkait dikotomi antara sosial media dengan media konvensional.
Apakah pertarungan keduanya sudah selesai atau belum.
Kemudian pertanyaan selanjutnya yakni soal bagaimana mengelola media sosial.
"Selama pilpres Polri capek juga hoaxnya banyak banget. Jadi, apakah Undang-undang ITE sudah cukup atau harus lebih keras lagi," ujar Tito.
Boy menjawab semua pertanyaan tersebut.
"Landasan idiil kita adalah Pancasila.
Namun demikian, globalisasi hari ini mengarah pada liberal. Kalau mengacu pada Pancasila, kita tidak bisa one man one vote, tapi keterwakilan.
Oleh karenanya, demokrasi liberal ini perlu diimbangi oleh prinsip-prinsip Pancasila," ujar Boy.
Boy melanjutkan, saat ini publik terjebak dengan pemikiran sesat apalagi dengan konten berita hoax di media sosial dan anti Pancasila.
Soal pertanyaan penting mana manajemen media untuk membangun opini publik positif atau reformasi Polri, Boy berpendapat keduanya sama pentingnya.
"Perbaikan apapun tanpa ada dukungan dari manajemen media, maka informasi publik soal Polri tidak akan tersampaikan dengan baik," katanya.
Boy mengatakan, sosial media saat ini kebenarannya relatif karena belum menyajikan informasi yang utuh.
"Sedangkan media konvensional bisa dipertanggungjawabkan.
Namun ruang media sosial dan konvensional bisa berbagi," ujarnya.

Dalam disertasi yang ia pertahankan hingga sidang, ia mengulas peran Kapolri Jenderal Tito Karnavian selama menjabat Kapolri.
Salah satunya, mengeluarkan commander wish.
Isinya antara lain, manajemen media.
Kata dia, kapolri menjadikan manajemen media sebagai program prioritas Polri.
Manajemen media merupakan upaya Polri dalam mengelola opini publik untuk menciptakan kepercayaan publik pada institusi Polri dan sebagai jalan untuk mempercepat aktualisasi promoter.
Manajemen media Polri ini dinilai penting di tengah kepercayaan publik pada Polri yang sempat menurun.
Salah satunya, survei Transparansi Internasional Indonesia (TPI) menempatkan Polri sebagai lembaga terkorup bersama DPR RI pada 2014.
Kemudian Litbang Survey Kompas pada 2014 yang menyebutkan tingkat kepuasan punlik pada Polri hanya 46,7 persen.
"Penelitian ini memberikan saran kepada Polri untuk menjadikan setiap anggota menjadi agen kehumasan dalam proses interaksi polisi dan masyarakat.
Kemudian, dapat berperan menjadi news maker dalam menampilkan kinerja positif di mata publik yang didukung dengan semangat profesionalisme dan bersikap simpatik serta humanis," ujar dia.
Selain itu, menurutnya, Polri harus mendorong prakarsa publik menciptakan etintas kecerdasan melalui budaya literasi, pos gagasan.
"Setiap anggota diharapkan memiliki kemampuan untuk orasi, menyusun narasi dan artikulasi agar dapat mencegah berkembangnya cara berpikir sesat (logical fallacy) di masyarakat. Serta mengajak masyarakat untuk disiplin berpikir benar dan pro logika," katanya.
Penelitiannya juga berkesimpulan agar Polri bisa mewujudkan polisi yang humanis dalam memberikan perlindungan.
"Perlu adanya peningkatkan kapasitas personil di bidang cyber public relations. Oleh karena itu Institusi Polri perlu membangun sarana pendidikan dan latihan kehumasan berbasis penggunaan teknologi," ujar Boy.
Setelah jawaban-jawaban Boy, Tito pun menanggapi sekaligus menguliti disertasi Boy.
"Tadi saya lihat ada pertanyaan kalau seandainya peneliti meneliti lingkungan sendiri. Kami kira jawaban yang paling pas kita menggunakan data. Dalam collecting data ada sumber informasi baik wawancara maupun second resources, untuk menghindari dosa besar dalam dunia akademik selain plagiat," ujar Kapolri.
Dalam disertasi ini, daerah penelitiannya fokus di Polri.
Kata Tito, penelitian seperti yang diajukan Boy memiliki keuntungan sendiri.
"Saya sampaikan apresiasi ke Pak Boy telah selesaikan disertasinya, saya sudah baca. Saya kira cukup banyak referensi dan sudah ada sejumlah kerangka teorinya. Delapan konsep dan kemudian menggunakan metodologi berpijak kepada kualitatif dibanding kuantitatif. Kemudian saya juga apresiasi pemilihan tema tentang manajemen media terutama berhubungan dengan Polri. Namun mungkin tidak ada salahnya menyampaikan pendapat tentang disertasi," ujar Tito.
Tito kemudian menyampaikan sejumlah kritikan terhadap disertasi Boy Rafli dengan bermula menyampaikan tentang disertasi itu sendiri.
Kata Tito, dsertasi berisi dua hal, disertasi di samping harus menuruti norma ke-akademikan, dan kedua substansi yang tidak lain tema masalahnya.
Salah satu penguji sempat menanyakan apa teori baru yang diulas dalam disertasi Boy Rafli Amar.
Menurut Tito, flow disertasi harus dimulai dari problem. Tidak ada penelitian tanpa persoalan
"Jadi yang tertulis dalam ini apa problemnya. Saya melihat dalam tulisan ini, seyogyanya problem could be. Seyogyanya hanya 1 pertanyaan pokok dan di breakdown pada persoalan. Kedua yang lain, menentukan persoalan memberikan hipotesis jawaban sementara atas pertanyaan. Sayangnya setelah kami baca tidak ada hipotesis," ujar Tito.
Kemudian Tito mengomentari bagian akhir disertasi.
"Di bagian akhir muncul saran praktis tapi tidk bertemu hal spesifik untuk seorang dokter. Disertasi S3 isinya sudah harus men-challange teori.
Men-challange itu menemukan teori baru atau paling mudah varian baru.
Kedua mematahkan teori yang ada atau ketiga menemukan teori baru.
Di bagian solusi kisaran praktis tapi tidak teoritis akademis. Apakah ini varian baru teori baru atau mematahkan teori atau menemukan teori baru. Kalau menemukan teori baru excellent.
Kalau mau ditanggapi boleh kalau tidak juga tidak apa-apa," ujar Tito yang disambut tepuk tangan oleh para tamu.
Tito kemudian mengulas soal manajemen media.
Kata Tito, manajemen media disampaikan karena perlu adanya upaya membangun opini publik untuk mendapatkan public support.
"Dukungan publik legitimiasi publik restu publik ini hal penting untuk negara di era demokrasi. Karena itu kekuasaan rakyat. Pemerintah atau rakyat yang ingin survive perlu mendapatkan dukungan publik," ujarnya.
Setelah menguliti isi disertai mantan Kadiv Humas Mabes Polri itu, Tito kemudian mengajukan lima pertanyaan.
"Jadi saat ini jika kita didukung publik, menganggap public support menjadi kritikal bagi polri untuk survive, menurut provendus kita menghadapi demokrasi liberal mana atau pancasila karena beda.
Ini akan menentukan public support kita harus all out atau tidak," ujar Tito.
Dalam sidang disertasi ini, hadir Kapolda Jabar Irjen Pol Rudy Sufahriady, Kadiv Humas Polri M Iqbal hingga Kapolri era 2010-2013, Jenderal (Purn) Timur Pradopo.
Sementara penguji selain Tito Karnavian, yakni :
1. Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos.,SH.,M.Si.
2. Dr. Dadang Sugiana, M.Si.
3. Prof. Deddy Mulyana, MA.,Ph.D.
4. Dr. Edwin Rizal, M.Si.
5. Dr. Atwar Bajari, M.Si.
6. Dr. Ninis Agustini Damayani, M.Lib.
7. Dr. Siti Karlinah, M.Si.
8. Jendral Pol. Prof. H.M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D
9. Prof.Dr.Ir. Mahfud Arifin, M.S. (men)