Tragis! Gara-gara Tak Bisa Mengerjakan PR, Bocah 13 Tahun Bunuh Diri. Peringatan Bagi Orang Tua
Ia juga mengeluhkan kalau si anak tidak menyelesaikan PR dan kurang tanggap dalam belajar. Lalu si anak masuk ke dalam kamar mandi dan bunuh diri.
Penulis: Beni Yulianto | Editor: Teguh Prasetyo
Gara-gara Tak Bisa Mengerjakan PR, Bocah 13 Tahun Bunuh Diri, Peringatan Bagi Orang Tua
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Kisah ini bisa menjadi peringatan bagi orang tua dalam mendidik anak.
Setiap orang tua pasti ingin anaknya berprestasi, termasuk di bangku sekolah. Namun, memaksakan anak di luar batas kemampuannya bisa membuat depresi.
Akan lebih baik jika orang tua bijak dalam mendidik anak.
Seperti cerita berikut ini, kabar mengejutkan datang dari seorang remaja asal George Town, Penang, Malaysia.
Remaja berusia 13 tahun tersebut dilaporkan bunuh diri karena tidak bisa menyelesaikan PR-nya.
Melansir dari NST via Suar.Id pada Minggu (25/8/2019), melaporkan bahwa ibu dari anak tersebut memarahi anaknya setelah menerima telepon dari gurunya.
Ia juga mengeluhkan kalau si anak tidak menyelesaikan PR dan kurang tanggap dalam belajar.
Lalu si anak masuk ke dalam kamar mandi.
Namun setelah beberapa jam, dia tidak keluar dari kamar mandi meskipun ayahnya mengetuk pintu.
Khawatir terjadi sesuatu, ia kemudian mendobrak pintu kamar mandi dan menemukan anaknya tergantung menggunakan handuk.
Keluarga menyoba menyadarkan si anak. Namun tidak berhasil.
Remaja tersebut meninggal dunia sekitar pukul 11 malam dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Menurut polisi, mereka menemukan catatan yang berisi ucapan terima kasih untuk ibunya yang sudah merawatnya selama 13 tahun.
Konsep diri negatif
Dilansir dari nakita.grid.id, setiap anak punya konsep diri. Ada yang positif, ada juga yang negatif.
Biasanya konsep diri yang negatif dapat tercipta ketika si anak mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di lingkungannya.
Terutama pada anak yang sering mendapat perlakuan kasar verbal maupun non-verbal dari orangtua yang sering memarahi.
Dilansir dari Kompas.com, menurut psikolog Naomi Soetikno, M.Pd, Psi, kekerasan adalah perilaku menyakiti sehingga korban mengalami kerugian atau kerusakan.
Jika kekerasan fisik dampak kerugiannya akan tampak di tubuhnya, maka kekerasan verbal akan berdampak pada kondisi emosional anak.
"Kerugian dari kekerasan verbal ini si individu tidak mampu memiliki rasa percaya diri, tidak ada konsep diri yang baik, serta tidak bisa meregulasi dirinya dengan baik.”
“Intinya kemampuan dasar individu untuk berkembang jadi terhambat," kata Naomi.
Orangtua yang sering memarahi anaknya atau bahkan ingin mendisiplinkannya terkadang cenderung menggunakan kata-kata yang tidak tepat.
Seperti mencela, memaki, berkata kasar, atau pun menakut-nakuti, bisa melukai atau menjatuhkan harga diri anak.
Jika sudah tertanam dalam alam bawah sadar, anak yang sering mendapat kekerasan verbal bisa kehilangan rasa percaya diri, menjadi penakut, merasa bersalah, hingga memiliki konsep diri negatif.
Selain dalam bentuk kata-kata, lanjut Naomi, kekerasan verbal juga tanpa sadar dilakukan orang dewasa melalui ucapan nonverbal.
"Kekerasan verbal tidak bisa dipisahkan dari nonverbal, misalnya tatapan mata melotot, intonasi, hingga tempo ucapan.”
“Mungkin si ibu tidak mengucapkan kata negatif, tapi dengan tekanan dan intonasi tertentu anak menjadi ciut," kata psikolog dari Universitas Tarumanegara Jakarta ini.
Kondisi otak ketika anak dimarahi
Tahukah bahwa memarahi anak dengan cara membentak-bentak atau berteriak justru berdampak buruk pada perkembangan otak anak?
Dokter ahli ilmu otak dari Neuroscience Indonesia, Amir Zuhdi, menjelaskan, ketika orangtua membentak, anak akan merasa ketakutan.
Ketika muncul rasa takut, produksi hormon kortisol di otak meningkat.
"Otak itu bekerja bukan hanya secara struktural, melainkan ada listriknya, ada hormonalnya.”
“Ketika anak belajar neuronnya menyambung, berdekatan, antar-neuron semakin lama semakin kuat, sistem hormonal juga bekerja," kata Amir saat ditemui seusai Festival Kabupaten/Kota Layak Anak di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (7/11/2015).
Nah, pada anak-anak, tinginya hormon kortisol itu akan memutuskan sambungan neuron atau sel-sel di otak.
Selain itu, akan terjadi percepatan kematian neuron atau apoptosis.
Lalu, apa akibatnya jika neuron terganggu?
Menurut Amir, banyak hal yang bisa terjadi, seperti proses berpikir anak menjadi terganggu, sulit mengambil keputusan, anak tidak bisa menerima informasi dengan baik, tidak bisa membuat perencanaan, hingga akhirnya tidak memiliki kepercayaan diri.
"Neuron ini kan isinya file-file. Kalau dalam jumlah banyak (kematian neuron), dia jadi lelet," kata Amir.
Amir menjelaskan, bagian otak anak yang pertama kali tumbuh adalah bagian otak yang berkaitan dengan emosi.
• Usai Berbuat Cabul Sang Paman Keluarkan Ancaman, Gadis 13 Tahun Sempat Nekat Coba Bunuh Diri
Dalam bagian itu, paling besar adalah wilayah emosi takut. Itulah mengapa saat anak-anak akan mudah merasa takut.
Semakin sering dibentak dengan keras dan membuat anak takut, semakin tinggi pula kerusakan pada neuron.
• Calon Pengantin Bunuh Diri Jelang Pernikahan, Tinggalkan Pesan Terakhir: Lia Sudah Buntu Ma. . .
• Hubungannya Tak Direstui, Sejoli Bunuh Diri Lompat ke Sungai hingga Lihat Kadal Besar
Menurut Amir, orangtua juga harus bisa mengelola emosi. Ketika anak berbuat salah, katakan salah dengan memberi pengertian tanpa membentak-bentak.
(Fadhila Afifah/Dian Maharani/Intisari Online)
Artikel ini sudah tayang di Intisari Online dengan judul remaja-13-tahun-bunuh-diri-karena-dimarahi-tak-bisa-kerjakan-pr-ini-yang-terjadi-pada-otak-anak-ketika-dia-dimarahi