Uang Suap Rp 5 Miliar untuk Big Boss Ternyata dari Tabungan Orangtua Eks Bupati Empat Lawang

Rinciannya, Muhtar dan Akil disebut menerima uang Rp 16,42 miliar dan 316.700 dolar Amerika Serikat (AS) dari mantan Wali Kota Palembang Romi Herton.

Penulis: Romi Rinando | Editor: Daniel Tri Hardanto
(KOMPAS.com/DYLAN APRIALDO RACHMAN)
Sidang pemeriksaan saksi terdakwa kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada di MK Muhtar Ependy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (28/11/2019). 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri mengaku tak hanya diminta menyiapkan uang Rp 10 miliar oleh teman mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, Muhtar Ependy, terkait kepengurusan gugatan sengketa Pilkada Empat Lawang.

Hal itu disampaikan Budi saat bersaksi untuk Ependy, terdakwa kasus dugaan suap terkait permohonan keberatan atas hasil pilkada di MK.

Setelah putusan sela, kata Budi, Ependy meminta dia menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk orang yang disebut Ependy sebagai "big boss".

"Setelah pembukaan kotak suara saya menang bulan Juli 2013 juga, saya telepon beliau menanyakan kapan putusan tetapnya karena Agustus saya pelantikan. Beliau (Ependy) menjawab saya baru kasih kabar minta tambahan untuk big boss Rp 5 miliar. Akhirnya saya kirim juga," kata Budi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (28/11/2019).

Depan Fahri Hamzah, Akil Mochtar Sebut Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa

Akil Mochtar Gebrak Meja Keluarga Tak Diizinkan Masuk

Akil Mochtar Bantah Cekcok dengan Rahmat Yasin di Rutan KPK

Budi menuturkan, sebutan big boss itu merujuk pada sosok Akil Mochtar sendiri.

Atas permintaan itu, Budi pun menyanggupinya. Namun, uang Rp 5 miliar itu direalisasikan dalam pecahan dolar Amerika Serikat (AS).

Budi mengatakan, proses pemberian uang itu tak jauh berbeda dengan yang Rp 10 miliar.

Ketika itu, ia memerintahkan istrinya membawa uang senilai Rp 5 miliar itu ke Bank Kalbar Cabang Jakarta.

"Sebenarnya (Ependy) minta rupiah, tetapi saya berikan Rp 5 miliar dalam bentuk dollar. Diserahkan ke kasir Bank Kalbar (Cabang Jakarta) 500.000 dollar, itu ada tanda terima. Jadi itu uang tabungan ibu saya ya sudah saya pinjam," kata dia.

Dalam kasus ini, Muhtar Ependy didakwa bersama-sama Akil menerima suap dengan jumlah bervariasi terkait penanganan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada).

Rinciannya, Muhtar dan Akil disebut menerima uang Rp 16,42 miliar dan 316.700 dolar Amerika Serikat (AS) dari mantan Wali Kota Palembang, Romi Herton dan istrinya, Masyito.

Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang.

Kemudian, keduanya didakwa menerima uang Rp 10 miliar dan 500.000 dolar AS dari mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri.

Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang.

s

Akil Mochtar /Youtube 

Menurut jaksa, penerimaan uang oleh Akil Mochtar melalui Muhtar Ependy yang menjadi terdakwa perkara ini untuk memengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil pilkada di Kota Palembang dan Kabupaten Empat Lawang yang diadili oleh Akil.

Dalam perkara ini, Akil telah divonis bersalah dan divonis seumur hidup setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya.

Muhtar Ependy sendiri  didakwa baik sendiri atau bersama-sama Akil melakukan pencucian uang untuk menyamarkan hasil korupsi yang dilakukannya bersama Akil.

Hal itu disampaikan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/10/2019).

"Telah melakukan perbuatan berupa perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan," kata jaksa Iskandar Marwanto saat membacakan surat dakwaan.

Caranya, menurut jaksa, Ependy menitipkan uang sekitar Rp 21,42 miliar dan 816.700 dolar AS kepada seorang bernama Iwan Sutaryadi.

Kemudian, dia menempatkan uang sebesar Rp 4 miliar di rekening BPD Kalbar Cabang Jakarta; mentransfer uang Rp 3,86 miliar dari rekening di BPD Kalbar ke rekening BNI Cabang Pontianak atas nama CV Ratu Samagat.

Kemudian, menempatkan uang sebesar Rp 11,09 miliar di rekening BPD Kalbar, Rp 1,5 miliar di rekening BCA atas nama Lia Tri Tirtasari, Rp 500 juta di rekening Bank Panin atas nama PT Promic International dan uang Rp 500 juta di rekening BCA atas nama Muhtar Ependy.

Selanjutnya, mentransfer uang berjumlah Rp 7,38 miliar ke sekitar 8 rekening pihak lain; membeli bahan baju hyget dengan harga Rp 500 juta; membeli kain bendera dengan harga Rp 500 juta; membeli 25 unit mobil dan 31 motor dengan harga keseluruhan sekitar Rp 5,32 miliar.

Berikutnya, membeli tanah dan bangunan yang terletak di Desa Sedau, Kabupaten Bengkayang senilai Rp 1,2 miliar; di Desa Waluran, Jawa Barat senilai Rp 50 juta; di Kelurahan Serdang, Jakarta Pusat senilai Rp 1,35 miliar; di Kelurahan Cempaka Putih, Jakarta Pusat senilai Rp 3,5 miliar dan di Desa Karangduwur, Jawa Tengah senilai Rp 217 juta. Serta, dia memberikan piutang senilai Rp 1 miliar ke PT Intermedia Networks.

"Perbuatan terdakwa menitipkan, menempatkan, mentransfer, membelanjakan, atau membayarkan dan perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga adalah hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa bersama-sama M Akil Mochtar," kata jaksa.

Menurut jaksa, sumber dana pencucian uang itu berasal dari mantan Wali Kota Palembang Romi Herton dan mantan Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri.

Dalam dakwaan pertama Ependy, ia dan Akil disebut menerima uang sekitar Rp 16,42 miliar dan 316.700 dolar Amerika Serikat (AS) dari Romi Herton dan istrinya Masyito. Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kota Palembang.

Kemudian keduanya juga disebut menerima uang Rp 10 miliar dan 500.000 dolar AS dari Budi Antoni Aljufri. Uang tersebut terkait permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang. Muhtar Ependy didakwa melanggar Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 65 ayat (1) KUHP.

Sebelumnya, Ependy sudah divonis lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan oleh majelis hakim pada tahun 2015 silam.

Saat itu, majelis hakim menganggap Ependy terbukti memberikan kesaksian palsu dan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan tidak benar dalam sidang Akil.

Adapun Akil Mochtar diketahui divonis seumur hidup setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya.

Permohonan kasasi ditolak antara lain dengan pertimbangan bahwa Akil Mochtar adalah seorang hakim MK yang seharusnya merupakan negarawan sejati dan steril dari perbuatan tindak pidana korupsi.

Akil Mochtar divonis seumur hidup dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait pengurusan 10 sengketa Pilkada di MK dan tindak pidana pencucian uang.(SUMBER KOMPAS.COM) 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Selain Rp 10 Miliar, Saksi Mengaku Diminta Teman Akil Mochtar Siapkan Rp 5 Miliar untuk "Big Boss"", 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved