Cerita Getir ABK Indonesia di Kapal China, Kerja Tak Kenal Waktu, Diberi Makanan Kedaluwarsa
Diberi makan makanan kedaluwarsa, waktu istirahat yang sangat terbatas, kerja dari pagi hingga malam, ditambah tekanan serta rindu akan keluarga.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BATAM - Sebanyak 22 WNI selamat dievakuasi dari kapal berbendera China bernama Lu Huang Yuan Yu 117.
Mereka pun mengungkapkan cerita getir selama berada di kapal penangkap ikan tersebut.
Diberi makan makanan kedaluwarsa, waktu istirahat yang sangat terbatas, kerja dari pagi hingga malam, ditambah tekanan serta rindu akan keluarga.
Itulah yang terangkum dalam curhatan beberapa anak buah kapal pekerja migran Indonesia di kapal Lu Huang Yuan Yu 117 saat berlabuh di dermaga Pelabuhan Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Batam, Kamis (9/7/2020).
Penampilan mereka terlihat kusut, matanya memerah, kulitnya hitam kelat.
• ABK asal Lampung Disiksa Sebelum Tewas di Kapal Ikan China
• Kapal Berisi Jenazah ABK asal Lampung Sempat Singgah ke Singapura
• Heboh Isu Menkes Kena Reshuffle, Zulhas: Terawan Menteri Kesayangan Jokowi
• Viral Mobil Dinas Wapres Diisi Bensin Pakai Jeriken
Sedangkan rambutnya acak-acakan berwarna hitam merah lantaran terpanggang matahari setiap saat.
Hanya kata penyesalan yang terucap dari mulut salah satu ABK PMI bernama Novantino (22).
Pria asal Kediri, Jatim ini tahu betul apa yang dialami dan dirasakannya bersama 21 rekannya saat bekerja di atas kapal itu.
Sore itu sesaat setelah melangkah keluar dari dalam kapal perbudakan itu menuju dermaga Lanal, mereka langsung dikumpulkan.
Tas ranselnya pun diturunkan satu persatu.
Mereka istirahat sejenak menunggu pemeriksaan kesehatan.
Kepada Tribunbatam.id, satu-satu mereka mengungkap cerita pengalaman yang dilaluinya.
"Tidak ada cerita pengalaman baik, hanya kepedihan yang kami lalui bekerja di kapal itu, bukan cuma saya. Semua kami merasakan hal yang sama," kata Siswandi, ABK asal Jakarta.
Siswandi terlihat tersenyum kecut, kulit wajahnya pun terlihat hitam gosong dan matanya merah.
Ia tampak terlihat geram.
Begitu juga dengan Didi Nuriza, rekan Siswandi.
Pria asal Pemalang, Jatim itu juga jadi korban perbudakan kapal Lu Huang Yuan Yu 117.
Tujuh bulan bukanlah waktu yang singkat bagi mereka untuk menahan berbagai kepedihan hidup di tengah laut di perairan lintas negara mencari ikan dan cumi.
"Kerja tak kenal waktu, makan seadanya. Waktu istirahat terbatas, dipaksa dengan upah tidak sepadan. Itulah yang saya alami dan rasakan," ujar Didi.
Sembari duduk beralaskan semen bangunan dermaga Lanal, Didi terus bercerita bahwa kehidupan di dalam kapal tidak teratur, amburadul.
"Kalau bisa melawan, sudah kulawan. Kalau bisa minta pulang, satu bulan pertama kerja saya pengen langsung pulang. Hanya saja kapal yang kami tumpangi ini terus berlayar," kata Didi.
Menurut Didi, itu sama saja dengan perbudakan.
"Kenapa demikian? Karena kami kerja dipaksa dan tidak manusiawi," katanya.
Mereka juga mengaku pekerjaan mereka tidak sesuai dengan kontrak awal bekerja.
"Saya bekerja dipaksa. Sudah waktunya istirahat namun dipaksa terus menjaring. Makanan pun diberikan yang sudah kedaluwarsa. Kadang pagi subuh mulai sampai tengah malam. Istirahat sebentar, lalu kerja lagi. Intinya selama ikan masih banyak ditemukan kami akan terus melempar jaring. Hingga terlihat tak berdaya lagi, baru diberi waktu istirahat. Tapi selama terlihat masih kuat akan dipaksa terus menjaring, mengumpulkan ikan, cumi lalu mengeringkannya," katanya.
Niat hati pernah berupaya ingin melawan.
Namun kendali kapal sepenuhnya ada di tangan mereka.
"Kami melawan justru mendapat risiko kekerasan. Seperti teman kami Hasan. Saya tidak tahu betul bagaimana ia meninggal. Namun waktu itu ia dipaksa bekerja menarik jaring tengah malam," katanya.
Dia menyebut tidak ada kemanusiaan di dalam kapal itu dibuat oleh perusahaan yang mempekerjakannya.
Bahkan Didi mengaku di dalam kapal itu, tidak ada interaksi lantaran beda bahasa.
Didi tidak mengerti bahasa mereka. Sebaliknya, mereka pun tidak tahu bahasa Indonesia.
"Jadi kami banyak diam saja," kata Didi.
Didi mengungkapkan, gaji yang mereka peroleh bervariasi tergantung agensi perusahaan yang memasukkan ABK bekerja.
"Kalau saya terima 350 dolar Singapura per bulan," ujarnya.
Untuk sistem pengupahan pun, lanjut dia, langsung di transfer ke rekening keluarga ataupun orang tua.
"Tiga bulan pertama saya ditunjukkin bukti transfer ke keluargaku. Namun 3 bulan terakhir ini saya belum tau, soalnya belum diberi tahu. Awalnya mereka mengatakan penghasilan di atas 500 dolar," katanya. (Tribunbatam.id)